Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Mappano Salo", Ketika Sanro Merayu Murka Penghuni Air

4 Januari 2018   11:12 Diperbarui: 14 Oktober 2018   21:06 1625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Diambil dari https://dediniblog.wordpress.com

Menurut Sanro Hayati, orang-orang yang pernah mengalami kesulitan hidup seperti dirinya, biasanya memang akan mendapatkan anugerah menjadi Sanro. Namun dalam tradisi Bugis kemungkinan menjadi sanro itu adalah bagi kalangan perempuan dan calabai tungke'na lino. Perempuan dalam tradisi Bugis memang mendapatkan posisi yang terhormat, mereka dianggap mempunyai kemampuan spiritual yang tinggi. Mereka juga dianggap sebagai kalangan yang bisa menjadi penyambung spiritualitas seseorang. Selain kalangan ini, kalangan calabai juga mendapatkan posisi yang terhormat seperti perempuan.

Setelah sanro Hayati menunaikan haji, aktivitasnya sebagai sanro tidak ditinggalkannya. Menurutnya antara sanro dengan haji bukanlah hal yang bertentangan dan harus dipertentangkan, kedua-duanya mengarahkan orang untuk mengenal dunia spiritual lebih mendalam. Bahkan menurut sanro Hayati, aktivitasnya sebagai sanro banyak membantunya pada saat ia melaksanakan haji . Dia banyak diberi petunjuk gaib oleh  Allah melalui perantara nenek moyangnya pada saat melaksanakan ritual tertentu, sehingga ia bisa lebih mudah dan lebih cepat ketika akan melakukan sesuatu. Saat Ia misalnya ingin mencium Hajaratul Aswad, aji Hayati bisa melakukannya dengan mudah.

Tentu saja tidak sedikit dari kalangan agamawan yang mencerca keberadaannya, seorang haji yang juga berprofesi sebagai sanro. "Bahkan ada kalangan agamawan yang menganggap haji saya tidak absah". Kata sanro Hayati.  "Tapi hal itu tak perlu ia tanggapi, "Toh mereka hanya tidak memahami anugerah Tuhan yang diberikan kepada saya." Tandasnya lebih lanjut dengan sekelumit senyum manisnya. 

Ilustrasi : Gambar diambil dari travel.kompas.com
Ilustrasi : Gambar diambil dari travel.kompas.com

Sanro: Medan Kontestasi

Sanro memang menjadi hal yang unik sekaligus penting di masyarakat Sul-sel. Hampir di sekujur daerah Sul-sel mengenal keberadaannya. Rata-rata di antara para sanro itu memang perempuan. Sanro acap kali menjadi area atau medan yang sering menjadi sarana negosiasi dengan Islam sekaligus dengan kaum laki-laki. (Mengenai dua hal ini, sudah pernah diulas dalam tulisan lain).

Bukan hanya itu, saat ini Sanro juga menjadi medan kontestasi memperebutkan pengaruh, prestise, dan aset ekonomi di tengah masyarakat.  "Saat ini bayak sekali bermunculan sanro, tentu saja tujuannya sebagai sarana mencari uang".  Jelas puang Toa Saidi. Penjelasan Saidi ini mungkin ada benarnya sebab saat ini sanro memang menjadi sarana yang diperebutkan. Mereka berlomba untuk diklaim sebagai sanro yang paling absah, dan untuk itu media yang bisa melegitimasi itu adalah proses kerasukan (trans).

Terkadang, proses trans ini menjadi satu permainan, ia dibuat untuk menunjukkan sejauh mana kualitas kesanroaan seseorang. Prosesi persiapan acara juga menjadi sarana untuk memperlihatkan siapa yang sanro sesungguhnya. Maka jangan heran bila dalam satu pelaksanaan acara akan hadir juga sanro lain, yang tidak melakukan apa-apa. Mereka hanya melihat dan biasanya akan memberikan penilaian yang buruk terhadap pelaksanaan acara.  Seperti kata salah seorang Bissu, "Kalau sanro-nya perempuan acaranya tidak akan lengkap seperti ini, andai sanro-nya Bissu pastilah acaranya dan persiapannya lebih baik."

Namun ini belum apa-apa, sejauh itu masing-masing dilakukan oleh kalangan mereka sendiri, meskipun makna kesanroan itu sendiri mulai bergeser menjadi profesi untuk mencari aset ekonomi. Yang celaka bila kesanroan itu ditentukan oleh satu lembaga adat tertentu, lembaga adat inilah yang berhak memberikan "sertifikat" sanro terhadap seseorang. Lembaga adat itu celakanya pula adalah bentukan pemerintah. Kini justru gejala itu mulai terjadi di beberapa daerah di Sul-sel, misalnya di Pangkep dan lainnya.  

Demikianlah lika-liku kehidupan sanro ini, dulu dihujat, kini dipuja,  yang lalu dibenci kini dicari.  Namun tak ada yang tahu pasti bagaimana nasibnya di masa yang akan datang.

(Penulis melihat peristiwa ini saat Puang Matoa Saidi pimpinan Bissu di Pangkep masih hidup) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun