Pagi baru saja datang menyapa, namun kesibukan sudah terlihat dari sebuah rumah di Desa Taraweang Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkep. Rumah panggung di tengah kampung itu adalah milik Wa' (Uwa) Darise, seorang penduduk yang sudah berusia senja. Ia tinggal sendiri di rumahnya tersebut dalam ujung usianya.
Di depan rumah itu berserakan beberapa potong bambu, sebagian sudah dipotong-potong, sebagian yang lainnya telah dibelah sedemikian rupa. Beberapa pria dewasa membuat sesuatu dari potongan dan belahan bambu tersebut. Potongan bambu itu disatukan sedemikian rupa sehingga membentuk kotak persegi empat yang disebut dengan balasuji. Nantinya di tempat inilah makanan akan dimasukkan.
Gerangan apakah kiranya, sehingga beberapa orang lelaki terlihat ripuh di depan rumah berdinding bambu itu ?Rupanya hiruk pikuk itu terkait dengan  persiapan untuk sebuah acara ritual yang lazim disebut didaerah ini dan juga beberapa daerah lainnya di Sul-sel dengan acara Mapano Salo. Dua kata itu secara harfiah bisa diartikan dengan menurunkan sesuatu di sungai. Masyarakat di tempat ini lazim pula menyebutnya Massorong  atau mappalao (pemberian ). Â
Sepintas ritual ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai ritual penyembahan atau pemberian sesajen terhadap penguasa air yang lazim disebut dengan Karaeng Sinri Jala. Tuduhan ini tentu asumsi sepihak tanpa pernah bertanya pada sang empunya acara. Ada pula yang mengatakan bahwa persembahan ini dimaksudkan sebagai tanda kesyukuran atas terpenuhinya suatu hajat dan juga agar nantinya semakin bertambah berkah dan rezeki dari Yang Maha Kuasa.
Ritual semacam ini memang lazim pada masyarakat berbasis agriculture. Beberapa penelitian antropolog terkemuka sudah menyatakan hal itu, misalnya Hertz (1907) dan Van Gennep (1909).  Gertz dalam Agama Jawanya yang terkenal itu,  telah mengudarkan  pula hal ini secara gamblang. Di Jawa, tempat di mana Gertz melakukan penlitian, ritual semacam ini lazim disebut slametan.  Ritual ini mengitari kehidupan petani dalam siklus kehidupan (Cycle of life), dalam siklus pertanian (Cycle of Agriculture), perayaan keagamaan dan integrasi sosial (social integration) (Gertz, 2017).  Berbagai ritual ini merupakan sisa-sisa cara hidup komunal masyarakat petani di desa.
Antropolog hampir semua bersepakat bahwa ritual semacam ini lazim dilakukan oleh masyarakat desa-petani,  namun mereka berbeda dalam soal apa yang menjadi intensi dari para pelakunya.  Antropolog klasik, semacam E.B. Tylor memandang ini sebagai satu cara penyembahan terhadap adanya kekuatan dalam benda atau tempat tertentu. Ciri khas  orang-orang lokal atau orang primitif, mengekspresikan keyakinanya begitu Tylor menyebutnya.  Pandangan yang banyak dikritik karena dianggap merendahkan keyakinan masyarakat lokal sebagai keterbelakangan. Bahkan tak sedikit yang melihat cara pandang Tylor ini bias kolonialisme. Tapi entah kenapa, segelintir kaum beragama senang menggunakan teori antropolog kolonial ini. Mereka senang menjuluki para komunitas lokal dengan sebutan anemisme.Â
Sementara para antropolog kekinian (bisa dibaca zaman now), diantaranya Nurit Bird David antropolog dari Universitas Haifa, menganggap ini bukanlah penyembahan. Masyarakat lokal, seperti yang dilakukan dalam mappano salo tadi, bukanlah datang untuk menyembah penghuni air, tapi datang untuk membangun hubungan.Â
Bagi Nurit, masyarakat lokal menganggap bahwa potensi "person" atau "personalitas" bukan mutlak ada pada manusia tetapi ada di mana-mana, di batu, pohon, air, dan sebagainya. Karena itu menjalin hubungan penting dilakukan dengan segenap makhluk tersebut. Ini untuk menjaga keberlangsungan kosmos.  Nurit menyebut ini dengan  istilah relasional epistemology (Nurit, 1999).  Maka bisa dimengerti mengapa dalam mappano salo itu, para pengusung ritual ini menganggap dirinya sedang mengunjungi saudaranya yang bernama Karaeng Sinri Jala.
Kembali pada soal kesibukan yang terjadi di rumah panggung milik Uwa Darise. Jika di depan rumah lelaki yang terlihat sibuk, maka sebaliknya di atas rumah panggung itu, perempuanlah yang pegang peranan. Beberapa orang di antara mereka tampak membuat kue-kue khas Bugis seperti cucuru, yang lainnya tampak sibuk memasak beras ketan yang disebut dengan songkolo. Yang lainnya lagi tampak mempersiapkan buah-buahan, seperti pisang.
Di tengah-tengah mereka tampak seorang perempuan yang masih cukup muda memakai cipo-cipo (penutup kepala yang biasanya dikenakan perempuan yang sudah berhaji). Perempuan ini sekali-kali memberikan arahan-arahan kepada perempuan yang ada di tempat itu.  Sesekali pula tangannya menjamah barang-barang yang di dekatnya, memperbaiki letaknya atau menyempurnakan bentuknya. Di sekitarnya tampak juga peralatan yang biasa dipakai pada acara mabissu, seperti sepasang gendang, pabbaccing, dan pagamaru. Di sudut lain tampak Puang Matoa Saidi (pimpinan Bissu) memperhatikan prosesi persiapan acara tersebut.
Perempuan yang berusia masih muda dan berwajah cantik itu ternyata adalah seorang Sanro. Pada acara mapano salo kali ini Sanro yang ternyata punya predikat Hajja ini menjadi pemimpin acara. Sedangkan Puang matoa Saidi yang biasanya pada acara ritual menjadi pemimpin acara, kali ini  hanya menjadi "penonton".  Puang Saidi hanya sesekali membantu sanro yang bernama hajjah Hayati ini memberi arahan kepada para perempuan yang sedang mempersiapkan acara.