Sehingga acara ini bisa terlaksana)
Keesokan harinya ritual mapano salo pun dimulai, kini semua acara dipusatkan di atas rumah.  Menurut rencana setelah acara pengisian balasuji dengan makanan sesajian, rombongan akan berangkat menuju  sungai dekat Tonasa (pabrik semen Tonasa). Di sungai itulah nantinya sesajenan akan diturunkan.
Hari itu tampak sanro Hayati sibuk sekali, Ia berada di tengah-tengah rumah, dekat tiang tengah. Setelah dia merasa acara sudah bisa dimulai, sanro Hayati mulai memerintahkan gendang ditabuh dan bunyi-bunyian lainnya dimainkan. Â Bunyi gendang yang berirama cepat (tete kanjara) berdentam-dentam. Bersamaan dengan itu bunyi-bunyi lainnya misalnya Pallae-lae (berbentuk dua bambu yang ujungnya dipilah-pilah, keduanya dipukulkan satu-sama lain), dan Pa Gamaru (gelas yang digosokkan disisi piring yang berisi air, suaranya terasa membuat ngilu gigi), juga mulai mengentak-entak. Â Sanro Hayati pun mulai mengisi balasuji dengan berbagai sesajen yang ada di situ, mulai dari beras, songkolo empat warna, lauk berupa ikan, ayam, telur dan pisang.
Sanro Hayati mendadak tersentak , bersamaan dengan dari mulutnya keluar suara, entah nyanyian entah meracau. Semua orang yang ada disitu mendekat, mereka dengan hikmat mendengarkan nyanyian sanro Hayati yang berupa nasehat dan pesan-pesan. Mereka kini tidak memanggilnya lagi dengan puang aji Hayati tetapi "nenek".
Orang yang berdiri di sebelah saya dan tengah menyimak serius ucapan Sanro Hayati masih sempat berbisik; "Kini sanro Hayati telah kemasukan arwah leluhur. Dialah yang biasa dipanggil dengan sebutan "sang nenek". Â
Arwah leluhur ini tampaknya kurang puas dengan persiapan Mapano Salo kali ini, ia menanyakan beberapa barang dan makanan yang tidak tersedia dalam sesajenan. Sambil menyanyi ia berucap:
Madeppungan manokko mae, kupuadakko gau to rioloe
Maittanuna itu mappugau tu riolo
Na de pa na pura genna na sitinajang.
(mari berkumpul semua, saya sampaikan perihal ritual nenek moyang kita
sebab sudah lama kalian melakukan acara seperti ini