"Maafkan daeng kalau aku membuatmu tidak enak hati". Buru-buru Tompo menimpali.
"Ah...tidak, engkau benar telah mengingatkanku. Tapi ingatanku pada Bunga ini lain. Aku merasa cemas dengan keadaannya. Bukankah hanya berhitung hari Ia akan melahirkan ? Sementara La Tahang tidak ada di rumahnya."
"Dia bersama ibunya daeng"
"Ibunya sudah tua Tompo dan ah....aku tidak mengerti dengan perasaanku ini, rasanya aku ingin melihat keadaan mereka. Lagi pula Bunga masih terhitung sepupuku, aku adalah keluarganya, jika ada apa-apa, aku seharusnya bisa membantunya". Ranrang semakin terlihat cemas. Ia mondar-mandir  di depan Tompo, temannya.
"Aku mau ke rumah Bunga Tompo, aku ingin melihat keadaan mereka". Lanjut Ranrang kemudian.
"Daeng Ranrang pertimbangkanlah baik-baik, sebaiknya biar sepulang dari ladang daeng ke sana, bersama Rannu adik perempuan daeng. Aku pun bisa ikut serta". Timpal Tompo mencoba menghalangi niat Ranrang. Kali ini raut wajahnya terlihat serius.
"Tidak aku mau ke sana saat ini juga". Sahut Ranrang cepat.Â
"Ingat dulu saat daeng Ranrang membantu membajak di sawah Bunga, lalu Bunga datang membawakan bekal untuk makan siang, lalu daeng duduk berdua di dangau, setelahnya daeng mengantar pulang". Ucap Tompo sambil menatap dalam-dalam teman karibnya itu.
Dahi Ranrang terlihat berkerut, alisnya seakan mau bertaut mendengar kata-kata Tompo.
"Maksudmu Tompo ?"
"Setelah peristiwa itu bukankah berhembus kabar angin yang kurang sedap, desas-desus bahwa Bunga telah melangkahi apa yang ditabukan adat. Saat suaminya tidak ada malah berduaan dengan lelaki lain, Â dirimu daeng"