Mohon tunggu...
iin nuraeni
iin nuraeni Mohon Tunggu... Guru - seorang ibu yang menyukai anak-anak, suka menulis, dan ingin terus belajar.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hadiah Terindah dari Tuhan

16 Januari 2022   09:56 Diperbarui: 16 Januari 2022   10:04 1982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HADIAH TERINDAH DARI TUHAN

"Bahagia bukan dia yang hebat dalam segalanya, namun dia yang mampu temukan hal sederhana dalam hidupnya dan tetap bersyukur."

Aku dilahirkan dari sebuah keluarga besar dengan 6 bersaudara, dan aku anak yang ke-6, kehidupan keluargaku termasuk lebih dari cukup, secara materi keluargaku tak pernah kekurangan, begitu pun dalam kehidupan sosial kedua orang tuaku adalah keluarga terpandang dengan jabatan yang lumayan tinggi dalam sebuah Instansi Pemerintah.

Dengan keadaan yang demikian itu, kehidupan kami terutama ke lima kakakku bisa bersekolah di lembaga Pendidikan yang terkenal, dan mahal pastinya hemmmm. Mereka hidup berkecukupan, dan membuat mereka menjadi sombong dan semena-mena (mungkin karena mereka merasa semua bisa di beli oleh uang). Mereka biasa di layani, dan di manja dengan materi, cara bergaul dan berpikirpun menjadi berbeda.

Aku.....aku adalah bagian dari mereka, tetapi kehadiranku seolah tidak ada, aku yang selau bersama pengasuh, tak pernah mereka tegur apalagi di sentuh atau diajaknya bermain, aku hanya bisa melihat keasikan mereka bermain, bergurau, tertawa terbahak-bahak sambil menonton TV bahkan mereka bisa mengajak teman-temannya main ke rumah.

Aku memang berbeda....

Aku memang berbeda....

Selalu itu yang ada dalam pikiranku.

Padahal aku bagian dari mereka, aku adik kandung mereka, apa salahku....(pikiran itu yang selalu ada dalam benakku), sampai detik ini aku tidak tahu mengapa mereka selalu iri dan benci padaku.

Dan pikiran itu jelas aku rasakan.

Pada suatu sore, aku berusaha berkumpul dengan kakakku, aku ingin bermain dengan mereka. Tapi.......

"kak, boleh duduk sini?" tanyaku dengan penuh harapan dan suara yang tenang (aku berusaha tenang).

"Buat apa.......?" Jawab kakakku yang nomer satu (sambil tertawa).

"Kamu di belakang sana, main sama Aisyah!" jawab kakakku yang nomer dua. (Aisyah adalah anak Bi Sumi pembantu kami yang bertugas memasak).

"Aku mau di sini boleh ya Kak?" ratapku dengan suara yang merajuk.

"Enggak ya enggak...." Jawab mereka hampir bersamaan.

Aku beranjak dari kumpulan mereka, kembali aku bermain dengan Aisyah (bermain boneka sambil menonton TV). Hatiku sedih sekali, aku ingin menjerit dan bahkan ingin berteriak sambil memberitahu kalau aku adalah adik mereka, bagian dari keluarga mereka, bukan bagian keluarga Bi Sumi.

Tapi.....harapan itu akan percuma, karena Ayah Bunda akan membela mereka, bahkan Bunda akan memanggil Bi Sumi agar mengajakku ke belakang untuk bermain sama Aisyah, suka atau tidak suka aku harus menurut sama Bunda.

Kami seolah dipisahkan oleh ayah dan bunda, aku yang hidup sederhana dan dalam didikan Bi Sumi dan Mang Kursim, sedangkan ke lima kakakku hidup berkecukupan. entah apa yang ada dalam pikiran ayah dan bunda, sampai-sampai kakakku bilang kalau aku anak yang tidak di harapkan.

Tuhan....apa salahku hingga aku mangalami hidup yang seperti ini, aku sedih dan aku tidak tahu dimana letak kesalahanku.

Aku jalani hari-hariku bersama Aisyah anaknya Bi Sumi, aku tak pernah mendapat belaian dari ayah dan bunda, terlebih bunda yang sangat sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan sosial lainnya.

Bukan hanya masalah pengasuhan tetapi masalah pendidikan pun aku berbeda, setamatnya aku dari jenjang Sekolah Dasar, aku maunya melanjutkan sekolah yang pavorit, tetapi........harapanku hanya harapan belaka, karena sudah aku perjuangkan juga. dan disuatu sore......ketika kami sedang menonton TV di ruang keluarga, ada Ayah, Bunda, juga kakakku.

"bunda......boleh bertanya...?" tanyaku perlahan penuh harapan

"ya....ada apa?" jawab Bunda singkat dan tanpa ekpresi untuk menatap wajahku (bunda sibuk dengan ponselnya).

"Bunda, aku kan sudah lulus dari Sekolah Dasar, bolehkah aku melanjutkan ke sekolah pavorit yang aku cita-citakan sejak dulu?" sahutku melanjutkan permintaan sebelumnya.

Bunda hanya diam, tak ada respon apapun karena sibuk dengan ponselnya.

"bagaimana Bun......?" tanyaku lagi dengan nada penuh harapan

Bunda masih diam, dan akhirnya bunda bilang......

"ade, sekolah dekat kantor ayah saja yaaa....!" ujar bunda

"Bun kok bunda gitu sih, aku kan mau sekolah seperti kakak-kakak di sekolah pavorit..." nadaku melemah (takut Bunda marah).

"Ade kan masih kecil, jadi perlu pengawasan ayah, dan enak lho berangkat pulang bareng Ayah setiap hari" sahut Bunda lagi.

Aku tak bisa membantah, karena kalau sudah aturan bunda, semua anggota keluarga gak ada yang bisa membantah.

"Ade kan masih kecil nanti antar jemput ayah ya, di bawain bekal sama Bi Sumi......" timpal kakakku sambil tertawa....

Akhirnya seisi ruangan tertawa, menertawakanku yang lari ke belakang, aku hanya bisa menangis di pangkuan Bi Sumi, benar kata mereka kalau aku anak yang tidak mereka harapkan.

Berjalan 3 tahun, setelah aku lulus SMP pun Bunda yang menentukan dimana aku bersekolah, aku gak pernah di beri kesempatan menjawab atau memutuskan apa rencanaku ke depannya, semuanya Bunda.

Kini aku sudah kelas 3 SMA, kembali aku mendekati bunda dan mengutarakan keinginanku untuk kuliah di kota B seperti kakakku yang lain, aku berharap sekali, permintaanku kali ini di kabulkan bunda.

Sore itu aku mendekati Bunda yang sedang asyik dengan sosmednya, mungkin lagi baca statusnya teman-teman Bunda.hemmmmm.....

"Bun......" tanyaku perlahan.

"hemmmmm" jawab Bunda tanpa bergeming sedikitpun dan matanya tetap ke ponsel yang ada di tangannya.

"Bun.....' tanyaku dengan suara agak sedikit keras.

"yaaaa......" Bunda hanya bergumam pelan tanpa reaksi.

"Bunda....aku mau bicara sebentar, boleh kan Bun...?" tanyaku penuh harap.

"ya mau tanya apa....?" jawabnya lagi (posisi  bunda masih fokus ke ponselnya)

Aku sentuh tangan bunda perlahan, barulah bunda menoleh ke arahku.

"ada apa....?" jawabnya lirih seolah bunda merasa terganggu dengan kehadiranku.

"bunda, bolehkan aku kuliah di kota B seperti kakak yang lain?" tanyaku dengan nada memohon..

"Tidak usah kuliah ya...." sahut Bunda tanpa ada perasaan bersalah, karena semua kakakku kuliah, sedangkan aku yang paling kecil tidak diijinkan kuliah.

"apa alasannya Bun?" tanyaku penasaran dengan keputusan bunda.

Bunda tak menjawab dann kembali dengan ponselnya.

Aku tak bisa membantah keputusan Bunda, aku hanya bisa menangis, aku kembali pergi ke belakang menemui Bi Sumi, yang selalu ada buatku, mendengarkan semua keluhanku, dan hanya dia yang bisa menghiburku. Aku lebih dekat dan sayang sama Bi Sumi, karena dia selalu ada buatku dalam keadaan apapun.

Bi Sumi tak banyak bicara, hanya mengelus kepalaku dan memainkan anak rambutku, juga mengusap airmataku yang terus mengalir deras, aku menangis karena aku sedih, aku merasa ayah dan bunda tidak adil. Aku sakit hati.

Setelah aku lulus dari SMA, tidak lama kemudian aku dinikahkan oleh Ayah dan Bunda dengan anak teman Bunda, dan kali ini pun aku tak bisa menolak.

Dan akhirnya aku menikah muda, aku jalanin walau aku sendiri tidak mengenal dia sama sekali, aku melakukan ini sebagai bukti baktiku pada Ayah dan Bunda yang sudah membesarkan, mendidikku selama ini, mungkin dengan cara ini Ayah dan Bunda bisa bahagia.

Menikahlah aku dengan pria pilihan Bunda, mungkin ini jalan yang terbaik, yang Tuhan berikan untukku.

Perjalanan pernikahan yang aku jalanin bersama suami, walaupun pada awalnya kami tidak melewati proses pacaran, dan kami mendapati sebuah pernikahan yang penuh cinta dan kasih, saling menghargai, saling berkomitmen untuk selalu setia pada pasangan kami pegang teguh, setiap masalah kami komunikasikan dengan baik, tidak ada yang kalah atau menang, kami menerima kelebihan dan kekurangan kami, karena kelebihanku adalah kekurangan suamiku dan sebaliknya. Dan pada suatu sore, suamiku memberikan kejutan yang sangat membahagiakanku.

 "Ma...sekarang anak-anak sudah sekolah semua..." ujarnya mengawali percakapan di sore itu.

"ya terus.....?" sahutku (sambil bergeser lebih dekat ke tempat dimana suamiku duduk)

"mama sekarang gak ada kesibukan? lanjutnya lagi.

"maukah mama kuliah?.........." lanjutnya lagi.

duggghhhh, seperti petir di siang bolong, anganku 7  tahun silam kembali teringat.

Antara bahagia, bingung jadi satu.

"ma....maukah? tanyanya lagi sambil memegang kedua tanganku.

"terus anak-anak bagaimana....?" tanyaku

"ma...ambillah kuliah kelas karyawan, nanti kita atur waktunya untuk jaga dan antar jemput anak-anak" suamiku memberi masukkan agar aku mau kuliah.

"ayah tidak keberatan....?" tanyaku penuh tanda tanya, antara bahagia dan bingung sekali lagi.

"Ini kan ide ayah, jadi ayah sudah mempertimbangkan semuanya...." jawabnya tegas sambil memegang bahuku bentuk penguatan bahwa dia sangat mendukung sekali.

"Baiklah ayah, kalau ini yang terbaik dan ini keputusan ayah...." lanjutku.

Dengan berjalannya waktu, kulewati kuliah dan aku mulai mengajar di sebuah lembaga pendidikan Sekolah Dasar, dan akhirnya aku bisa menjadi pegawai pemerintah (ASN).

Kini, aku hanya bisa melihat dari jauh, bagaimana nasib ke lima kakakku setelah di tinggal Ayah Bunda, mereka yang biasa bergantung pada orang tua, kini setelah tanah warisan di bagi dan habis gak karuan, baru mereka sadari, bahwa harta bukan bekal sejatinya, tetapi ilmu, bekal kita untuk menapaki perjalanan hidup di dunia ini.

Aku yang dulu selalu di kucilkan bahkan tak dianggap oleh kelima kakakku, dan aku bersyukur sekali, kini aku bisa membantu kesulitan mereka. Terimaksih Tuhan atas kebesaran-Mu lah aku bisa seperti ini, dan tak lupa aku bersyukur Tuhan memberikan untukku seorang suami yang begitu baik dan penuh cinta kasih, meski dijodohkan orang tua, mungkin itulah hal terbaik, sehingga kami bisa menjalani kehidupan ini penuh kebahagiaan dan kebersamaan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun