"ada apa....?" jawabnya lirih seolah bunda merasa terganggu dengan kehadiranku.
"bunda, bolehkan aku kuliah di kota B seperti kakak yang lain?" tanyaku dengan nada memohon..
"Tidak usah kuliah ya...." sahut Bunda tanpa ada perasaan bersalah, karena semua kakakku kuliah, sedangkan aku yang paling kecil tidak diijinkan kuliah.
"apa alasannya Bun?" tanyaku penasaran dengan keputusan bunda.
Bunda tak menjawab dann kembali dengan ponselnya.
Aku tak bisa membantah keputusan Bunda, aku hanya bisa menangis, aku kembali pergi ke belakang menemui Bi Sumi, yang selalu ada buatku, mendengarkan semua keluhanku, dan hanya dia yang bisa menghiburku. Aku lebih dekat dan sayang sama Bi Sumi, karena dia selalu ada buatku dalam keadaan apapun.
Bi Sumi tak banyak bicara, hanya mengelus kepalaku dan memainkan anak rambutku, juga mengusap airmataku yang terus mengalir deras, aku menangis karena aku sedih, aku merasa ayah dan bunda tidak adil. Aku sakit hati.
Setelah aku lulus dari SMA, tidak lama kemudian aku dinikahkan oleh Ayah dan Bunda dengan anak teman Bunda, dan kali ini pun aku tak bisa menolak.
Dan akhirnya aku menikah muda, aku jalanin walau aku sendiri tidak mengenal dia sama sekali, aku melakukan ini sebagai bukti baktiku pada Ayah dan Bunda yang sudah membesarkan, mendidikku selama ini, mungkin dengan cara ini Ayah dan Bunda bisa bahagia.
Menikahlah aku dengan pria pilihan Bunda, mungkin ini jalan yang terbaik, yang Tuhan berikan untukku.
Perjalanan pernikahan yang aku jalanin bersama suami, walaupun pada awalnya kami tidak melewati proses pacaran, dan kami mendapati sebuah pernikahan yang penuh cinta dan kasih, saling menghargai, saling berkomitmen untuk selalu setia pada pasangan kami pegang teguh, setiap masalah kami komunikasikan dengan baik, tidak ada yang kalah atau menang, kami menerima kelebihan dan kekurangan kami, karena kelebihanku adalah kekurangan suamiku dan sebaliknya. Dan pada suatu sore, suamiku memberikan kejutan yang sangat membahagiakanku.