"Berdasarkan hasil survey, makin banyak perempuan yang enggan diajak hidup susah"
***
Begitulah kira-kira inti sebuah artikel dari media daring beberapa waktu lampau. Banyak kemudian yang merespon dengan berbagai tanggapan mulai dari yang serius, guyon, sarkas, sampai yang sensitif melankolis karena sebagian besar orang menganggap perempuan makin matre.
Baiklah. Sebagai bagian dari semesta warganet negara ples enam dua yang konon katanya harus kritis dalam menyikapi segala isu krusial yang sedang bergolak, maka izinkanlah saya untuk ikut urun rembug mengenai persoalan yang satu ini.
***
Jadi begini, menurut saya koq hasil riset itu sangat manusiawi ya.
Gimana coba kalau kita ubah subyeknya menjadi laki-laki. Apakah kata enggan itu akan serta merta berubah menjadi senang.
"Berdasarkan hasil survey, makin banyak laki-laki yang senang diajak hidup susah"
Hmm...sepertinya koq saya yakin enggak bakal jadi gini.
Maka dari itu dapatlah kita tarik sedikit simpulan gegabah, bahwasanya hipotesis dalam penelitian itu bukanlah semata karena perempuan adalah mahluk yang matre.
Karena siapapun yang hidup di dunia ini pastilah menginginkan kehidupan yang gampang-gampang saja. Gak pake susah kalau bisa.
***
Ah...maafkan saya yang malah melenceng dari pokok permasalahan.
Bagaimanapun tadi yang hendak kita bicarakan adalah perihal perempuan jaman now yang makin kesini makin ogah kalau harus menikah dengan laki-laki yang kemampuan finansialnya tidak mencukupi (mohon maaf bila kalimat lugas ini terasa nylekit di hati).
Ya gimana ya, kalau mau jujur sebenarnya dari dulu ya tidak ada perempuan yang mau kalau harus urip rekasa, hidup berkesusahan. Tapi mungkin saja beberapa waktu lalu keberanian berekspresi dan mengemukakan pendapat pribadi tak seterbuka di zaman sekarang.
Selain itu juga makin banyak perempuan yang bekerja sehingga menjadi mandiri secara finansial dan menikmati kehidupan single nya dengan baik.
Alih-alih memaksakan diri untuk harus menikah hanya dengan bermodalkan cinta yang lebih bersifat emosional, mereka lebih mempercayai logika yang bersifat realistis.
Ah apa iya sih? Mosok perempuan sedemikian tangguhnya mau berjuang hidup sendirian tanpa ada lelaki di sampingnya hanya karena sang pria tak cukup kaya baginya?
Ya kalau bagi saya sih iya, tentu saja saya tak hanya spontan dalam menjawab, tetap saja ada hal-hal yang mendasari jawaban menyebalkan saya tadi.
***
Menjalani kehidupan di tengah zaman yang makin kompetitif tentu saja membutuhkan perjuangan yang ekstra, apalagi jika kita adalah perempuan dengan status single.
Di tengah benturan realita yang tak selalu mengenakkan tentu saja akan membuat kita makin mengedepankan nalar dalam memutuskan sesuatu, apalagi jika itu menyangkut hal yang sangat sakral seperti pernikahan.
Seyogyanya sebuah pernikahan dilakoni sekali seumur hidup. Untuk bisa mencapai taraf itu, dibutuhkan aspek-aspek yang tidak bisa tidak harus ada. Salah satunya adalah kemapanan.
Apakah cinta saja tidak cukup?
Hanya Dilan yang bisa jawab iya. Karena ia hidup pada dua puluh tahun silam dalam sebuah kenangan.
***
Tentu saja yang saya maksud dengan aspek kemapanan di sini bukanlah memiliki rumah gedongan, mobil mewah atau tabungan bermilyar-milyar. Eh tapi ya syukur-syukur sih kalau memang bisa gitu ya.
Kemapanan disini lebih relatif, meski sebenarnya hampir semua orang yang pernah hidup bermasyarakat pasti mengerti dengan batasan definisi ini. Ya paling minimal adalah, jika seorang laki-laki berani beristri, ia tahu bagaimana caranya memenuhi kebutuhan hidup pasangannya kelak tanpa harus pakai embel-embel diajak hidup susah.
Bukan karena perempuan itu sok-sok an ndak mau diajak hidup susah. Tapi mbok ya'o bagi para laki-laki yang katanya cinta setengah mati, Gimana kalau njenengan itu berusaha labih keras dan kemudian membuktikan diri pada perempuan yang sangat anda cintai bahwa memang anda layak untuk diterima menjadi suaminya nanti.
Kalau belum memulai bahtera saja sudah pingin melibatkan kekasih hatinya dalam hidup yang susah, lha nanti gimana dalam perjalanan mengarungi lautan luas.
Padahal konon katanya semakin jauh perjalanan ke samudera, badai yang menerjang pun akan semakin ganas.
***
Mungkin banyak yang akan berkomentar bahwa saya salah besar, karena banyak sekali pasangan sukses yang dulunya juga mengawali pernikahannya dengan hidup susah.
Oh tentu saja, saya tak akan menafikan hal itu.
Tetapi pernahkan juga njenengan menyadari kalau banyak ikatan pernikahan kandas di tengah jalan karena kondisi ekonomi yang makin tak menentu dikarenakan dari awal memang sudah agak goyah.
Sekali lagi, curhatan ini adalah murni opini pribadi, pasti semuanya serba subyektif penuh asumsi. Kita boleh berselisih paham, tapi yang penting jangan saling mencaci biar ndak jatuh benci. soalnya kalo lama-lama benci nanti malah jadi cinta, repot deh.
Lepas dari semua itu, menurut saya sah-sah saja jika perempuan enggan menikah dengan lelaki mengajaknya untuk hidup susah. Bagaimanapun hidup menikah pasti akan memikul tanggung jawab lebih daripada hidup sendirian. Untuk itu harus ada usaha yang lebih juga untuk dapat membuat komitmen yang sudah dibuat tetap berjalan di atas rel yang semestinya.
Cinta memang selayaknya dijadikan fondasi dalam membangun rumah tangga. Tetapi perlu diingat bahwa romansa tidak akan bertahan selamanya. Realita hidup di tengah dunia yang makin materialistis, mau tak mau harus bisa mengubah cara pandang. Bahkan jargon kuat di masa lampau seperti makan ngga makan asal kumpul pun kian banyak ditinggalkan.
Makan dan minum, bayar tagihan listik, air dan pulsa, belanja bulanan, ongkos skin care, nonton bioskop, beli buku favorit, plesir tahunan. Hal-hal rutin yang membawa kebahagiaan-kebahagiaan kecil dan bisa dengan mudah dilakukan oleh para wanita single yang berpenghasilan sendiri ini mungkin akan menjadi sesuatu yang sulit mereka raih ketika mereka memutuskan untuk menikah dengan pria yang hanya mengajaknya hidup susah.Â
Sehingga wajar jika akhirnya mereka memilih untuk tetap melajang karena bagaimanapun semua itu tak mungkin bisa dibayar hanya dengan setumpuk kalimat aku mencintaimu.
Hidup susah tentu saja susah darling.
Jadi mungkin lebih baik hal itu diubah mulai dari sekarang dan ucapkan dengan lebih percaya diri pada kekasihmu  "Maukah engkau menikahiku dan kuajak engkau untuk hidup bahagia denganku"
Uhuk .......
***
Dan kemudian saya mendengar dengungan nun jauh disana.....
" Hmm, pasti ini mbak nya yang nulis feminis, atau matre akut? atau jomblo kelamaan? atau mbaknya emang ndak laku? hei...atau jangan-jangan karena ditinggal rabi? ahh...pasti karena mbaknya bukan pendukung gerakan menuju negara bahagia sejahtera dengan menyegerakan menikah kan?....ups maaf , sekadar mengingatkan"
Ah.... kalau hanya menghadapi sederet pertanyaan jenaka seperti di atas sih saya sudah terlampau biasa koq dek...heuheuheu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H