Senja sungkan pergi. Malam terlambat datang. Pukul tujuh malam terlihat masih terang. Awan putih samar-samar, nampak kejinggaan. Angin berembus pelan. Menyampaikan banyak titipan kerinduan. Musim semi telah berakhir. Bunga-bunga tak lagi bersemai indah. Awal musim panas yang selalu menantang. Kereta berjalan cepat. Gerbong-gerbong penuh. Tempat duduk terisi penuh. Sama sekali tak tersisa. Selalu seperti ini. Selalu demikian. Pemandangan akhir pekan yang tak pernah berubah.
Stasiun Taichung, capung raksasa selalu jadi icon utama kebanggaan semua orang. Stasiun ini selesai dibangun lagi dua tahun lalu. Dulu bangunannya biasa saja. Sekarang begitu megah dan menawan. Jadi titik para Bmi menghabiskan waktu liburan bagi yang malas bepergian. Di depannya tersedia taman yang cukup nyaman.Â
Jika malam minggu, sering ada penyanyi yang melantunkan suara indah mereka dengan alat musik secara gratisan. Seperti magnet yang membuat pejalan kaki duduk di depan. Menikmati suguhan sang penyanyi dengan menopang dagu masing-masing, tersenyum kecil, lalu tertawa tanpa alasan.
Aku terus melangkahkan kedua kakiku. Menyusuri pertokoan hingga sampai di bangunan depan gedung tinggi berlantai 13. Kami menyebutnya "Piramyd". Bangunan ini memang berbentuk kerucut. Tempat ini juga merupakan icon penting Kota Taichung. Di dalam gedung merupakan pusat perbelanjaan dengan banyak toko-toko yang menyediakan kebutuhan untuk perantau dari berbagai negara.Â
Mulai dari makanan, handphone dan pakaian. Harganya relative terjangkau dari toko-toko khusus buruh migran yang berada di luaran. Di  depan piramyd dibangun taman yang sangat indah. Taman panjang penuh bunga-bungaan di pinggiran dengan kolam ikan yang jernih di tengahnya. Taman ini begitu mempesona di malam hari dengan kerlap-kerlip lampu warna-warni.
"Assalamu'alaikum... Kang." Seseorang manyapaku dari belakang.
"Wa'alaikumussalaam warahmatullaah."
"Mau ke mushola ya, Kang?"
"Iya. Ayo bareng."
"Ayo, Kang. Sebentar lagi rutinan di mulai."
Aku bergegas mempercepat langkahku. Tak mau kalah dengan sahabat baikku. Ya, dia adalah sahabat satu tim rebanaku. Hari ini aku memang sedikit terlambat ke mushola. Maklum, anak pabrik. Pulang lembur tadi belanja dulu baru keluar. Sampai di mushola, aku terlebih dulu sholat isya', sudah telat. Di perjalanan tadi aku terlalu menikmati pemandangan yang memanjakan mata. Betapa indah karunia-MU, Ya Allah.Â
Tempat ini adalah surga bagi kami, yang selalu rindu bersujud tawadlu. Rindu dengan lantunan sholawat setiap minggunya. Rindu dengan lantunan rebana yang tak pernah kami tinggalkan. Dan yang paling penting, adalah rindu kepada Baginda Nabi Muhammad SAW.
Mushola dengan nama IMIT(Ikatan Muslim Indonesia Taiwan) Taichung ini terletak tidak jauh dari Piramyd. Dari stasiun ambil arah kiri, melewati tiga kali penyebrangan sampai starbucks. Nyebrang ke kiri lagi, sudah sampai. Mushola ini berlantai dua. Lantai satu merupakan toko mushola yang menjual alat-alat sholat, aksesoris, serta pakaian muslimin dan muslimat.Â
Di belakang toko tempat kami berkumpul dan makan bersama. Sedang paling belakang lagi adalah dapur. Tempat kami para anak pabrik beradu kelihaian memasak. Di lantai dua ada ruang sholat yang cukup luas untuk jamaah laki-laki. Belakangnya ruang sholat untuk jamaah perempuan. Dan paling belakang ada dua kamar tidur untuk pengurus mushola dan kamar mandi. Bagi kami, tempat ini adalah pelita dan surga di negara non musim yang kami singgahi.
Mei 2017,
Angin malam menyusup mesra ke dalam kulit. Aku duduk di bangku panjang depan mushola. Menerawang sinar rembulan yag mengintip manja dari balik gedung tinggi. Ponselku tiba-tiba bergetar. Kulihat sebentar, ada pesan masuk di messengerku.
"Assalamu'alaikum warahmatullaah.."
Dari seorang perempuan. Aku tidak kenal siapa dia. Sejauh ini tak terlalu kuperhatikan teman-teman di sosial mediaku. Karena pesannya sopan, segera kubalas saja.
Wa'alaikumussalaam warahmatullaah wabarakaatuh."
"Maaf, mengganggu. Boleh saya bertanya sesuatu?"
"Iya, tanya apa?" Balasku singkat.
"Saya ingin tanya alamat Masjid Taichung, bolehkah Anda bagi lokasinya?"
"Oh, iya, Mbak. Sebentar."
Alamat lengkap Masjid Taichung yang terletak di daerah Nantun segera aku berikan kepadanya. Profilnya aku tidak kenal. Bukan teman di IMIT dan Organisasiku yang lain. Sejauh ini aku cukup dingin terhadap perempuan. Bertahun-tahun di Formosa, waktu libur hanya kuhabiskan untuk kegiatan di mushola. Ribuan perempuan berjilbab panjang yang bersliweran depan mata jarang kuperhatikan.Â
Tetapi untuk perempuan satu ini, entah mengapa Allah sepertinya memberikan ruang di hatiku. Dari pertanyaan di messenger itu, selalu ada celah untuk saling memberi pesan. Ucapan selamat pagi dan selamat malam yang sederhana. Baris-baris ketikan kata-perkata yang sederhana. Â Kenyamanan itu tiba-tiba saja datang walau kami belum dipertemukan. Apalagi sejak tahu ternyata dia satu desa denganku, obrolan kami malah semakin mengasyikkan.Â
"Bersyukur banget ya, Kang. Siapapun yang mendapatkan hatimu. Kamu laki-laki yang gak banyak tingkah, sederhana, aktif di kegiatan keAgaman pula." Ucapannya membuat telingaku geli.
"Aku hanya gak suka menghabiskan waktu untuk sesuatu yang gak berguna, Neng."
"Iya, Kang. Soalnya di Taiwan ini, kan, umumnya pada kebawa pergaulan yang gak bener. Pada bergaul melebihi batas."
"Iya, semoga bukan kita. Untuk mereka yang tenggelam dalam dosa, kita cukup do'akan semoga diberi hidayah dan ampunan."
"Iya, benar. Aamiin."
Diapun tak sungkan bercerita tentang kisah asmaranya yang selalu berujung pengkhianatan. Aku tak heran, di Formosa ini, kalau tak hati-hati memberikan hati, tak sedikit yang berujung patah hati. Itu kenapa malas sekali untukku membuka pintu hati. Kalau tidak untuk serius ke pelaminan, lebih baik sendiri dalam kekhusyukan.Â
Kedekatan kami begitu sederhana. Dan itu terlewati cukup lama. Hampir satu tahun. Sebatas chatt dan telepon hingga larut malam. Tak pernah bertemu karena dia belum diizinkan libur oleh majikannya. Tak mengapa, aku hanya ingin menjadi bagian yang ada dalam kesepiannya, itu sudah cukup. Meski aku sendiri tak tahu, kenapa aku bisa seperti ini kepadanya. Jatuh cintakah? Apakah ini sungguh cinta? Tanpa sekalipun pertemuan?Â
Pertengahan 2018, ada tamu yang mengetuk pintu hatiku secara paksa. Berusaha masuk walau tahu telah terkunci amat rapat. Perempuan satu ini juga aktif di acara keAgamaan. Wajahnya bulat, kedua matanya juga bulat. Dia gadis yang riang juga ceria. Menggemaskan memang. Dari kedekatan kami, bahkan dia pernah mengajakku menikah di sini. Tetapi aku menolaknya.Â
Alasanku? Karena hatiku sudah terlanjur direbut oleh gadis sederhana yang mengetuk pintu hatiku dengan  pesan-pesan sederhananya. Gadis yang membuat hatiku yakin untuk selalu menunggunya. Menunggu pertemuan kami yang masih jadi tanda tanya. Menunggu izin Allah untukku melihat langsung seperti apa dirinya. Hingga harapan-harapan yang kupanjatkan dalam kebisuan itu menjadi nyata. Ya, dalam suatu acara, akhirnya kami dipertemukan.
14 September 2018
Taipei Main Station, sejak shubuh aku meninggalkan Taichung untuk segera ke Taipei. Ibu kota negara Taiwan yang selalu aktif. Siapa yang tidak tahu gedung 101? icon kebanggaan negara ini. Aku pergi dengan terburu-buru. Hari itu ada Tabligh Akbar yang didatangi oleh Alwi Assegaff, pelantun sholawat cilik yang berwajah imut dan tampan. Panggung pengajian itu tepat di depan pintu masuk stasiun sebelah selatan Gate A. Di samping panggung berjejer bazar yang menjual perlengkapan pakaian muslim dan muslimah. Di salah satu toko bazar itulah untuk pertama kalinya aku melihat dia. Gadis sederhana yang berhasil membuka pintu hatiku. Gadis manis berwajah baby face dengan gigi kelinci yang sangat lucu. Gadis itu, yang dulu bertanya lokasi Masjid Taichung kini ada di depanku. Masya Allah, dia..?
Dia memakai gamis warna hitam. Sangat anggun. Wajahnya putih bersih. Senyum dengan gigi kelincinya? Ah, aku malu untuk menjabarkan apa yang aku rasakan. Dia begitu manis. Sangat manis. Pertemuan pertama kami tidak banyak bicara. Bertatap muka tak begitu lama. Pertemuan yang sederhana. Sinkronisasi diantara kami terjadi serba sederhana. Tak mengapa. Bagiku ini istimewa. Bukankah Allah tidak menyukai yang berlebih-lebihan?
Pertemuan kedua kami terjadi dua bulan berikutnya. Di tempat yang sama. Kali ini acara Harlah Komunitas Pantura yang menghadirkan Lesty D'Academy. Siapa yang tidak tahu dia? Kali ini gadis lucu dengan gigi kelinci itu menjadi bagian dari panitia tabligh akbar. Dia memakai seragam khusus panitia. Pertemuan kali ini tak lebih lama dari yang pertama. Kami hanya bertemu saat breefing pagi, itupun hanya beberapa menit. Karena aku harus tampil sebagai anggota rebana Nurul Qulub-IMIT Taichung. Setelahnya, aku cepat-cepat menuju Taman 228 untuk Kopdar Syekhermania. Lagi-lagi, pertemuan yang sebentar itu menyisakan kerinduan-kerinduan setelahnya.Â
Dari saat itu, aku mulai berani mengutarakan isi hatiku. Meyakinkan bahwa aku sungguh-sungguh ingin bersamanya. Bukan untuk pacaran. Tapi sehidup semati dengannya. Bukan hanya perasaanku yang mendorongku seperti ini. Tapi juga karena harapan orangtuaku. Mereka ingin sekali aku memiliki seorang istri yang dekat dengan mereka. Secara kami tinggal di satu kampung yang sama. Dia memiliki banyak kriteria yang aku tunggu selama ini. Apa dalam keadaan seperti ini, aku mampu bercanda? Sedang sehari-hariku, akupun tak banyak tertawa. Aku laki-laki yang tak mudah jatuh cinta.
Ceritaku masih berlanjut sampai pertemuan ketiga. Satu bulan setelahnya. Saat itu ada kumpulan komunitas Syekhermania untuk Tabligh Akbar Taiwan Bersholawat yang akan dihadiri Habib Syekh di Taichung bulan Februari 2019. Dia memesan jaket Syekhermania yang kebetulan saat itu tinggal satu saja. Dia memberikan alamat rumah majikannya kepadaku. Dari Taichung aku bergegas ke Taipei. Dari Taipei Main Station, aku naik taksi ke rumah majikannya. Berkali-kali kutelepon dia tak kunjung menjawab. Aku memberanikan diri mengetuk pintu. Saat pintu terbuka, Si Gadis Manis itu terkejut melihatku. Dia tak habis pikir aku datang sendiri ke rumahnya. Dia kira yang mengetuk pintu adalah tukang pos yang mengantar jaket Syekhermanianya. Iya, mungkin dia benar. Akulah tukang pos itu. Tukang pos yang mulai gila karena mencintainya.Â
Ada satu tempat yang menjadi incaran pecinta alam di Taipei, Mount Elephant. Gunung Gajah ini tak jauh dari Gedung 101. Menikmati kegagahan  Gedung 101 yang tinggi menjulang dari atas puncak menjadi daya tarik pendaki dan pengunjung Gunung Gajah. Terutama di malam hari. Kita bisa menelanjangi luasnya Kota Taipei dengan gemerlap lampu yang memanjakan mata. Eksotik luar biasa. Gunung ini, menjadi tempat pertemuan kami yang keempat. Sebelum kesini kami terlebih dulu bertemu di Aula TMS (Taipei Main Station). Dia bersama saudaranya karena aku tidak ingin jika kami hanya pergi berdua. Di tempat inilah, pertama kali aku minta foto bersama untuk kukirimkan kepada Ibuku tercinta. Sepanjang hari itu, Lineku terus berbunyi. Panggilan-panggilan dari banyak organisasi aku hiraukan hanya untuk menghargai keberadaannya. Gadis lucu yang aku cinta. Separah inikah aku hanya demi cinta?
Aku tak sungkan meminta nasehat dari Bunda yang mengelola mushola tentang perasaanku kepadanya. Sebagai orang yang sangat bijak, Bunda menasihatiku untuk lebih menjaga hati dari perempuan lain. Aku yakin aku mampu, tapi apakah dia juga sama? Dia memberitahuku ada laki-laki yang juga suka kepadanya. Laki-laki itupun bekerja di Taiwan. Dia anak orang kaya. Orangtuanya pernah datang ke rumah gadis itu untuk melamar. Tetapi dia berkata kepadaku, dia tidak mencintainya. Dia memilih untuk ta'aruf denganku.
Maret 2019
Musim semi telah datang. Hawa dingin yang menusuk perlahan pergi. Pohon-pohon mulai berseri kembali, seperti bangkit dari kematian. Taman bunga diberbagai kota kembali dibuka. Festival bunga-bunga sakura-pun menjadi lounching datangnya Autumn. Bersamaan dengan berlalunya musim dingin yang menyebalkan, hatikupun mengalami kepatahan. Harapan-harapan yang semakin menggunung buyar dalam satu ucapan. "Maaf, Kang. Sepertinya ta'aruf kita sampai di sini saja. Maaf, maaf sekali."
Dadaku terasa sesak.
"Ada sesuatu yang tidak kamu ketahui, Kang. Aku berbeda dengan perempuan di luaran sana. Aku tidak sehat. Ada tumor yang bersarang di rahimku. Aku sakit, Kang. Tumor itu tidak hanya satu, tapi ada dua di kanan dan kiri rahim."
"Ya Allah, Neng, apakah dengan sakitmu ini, justru aku akan tega meninggalkanmu? Tidak, Neng. Justru di saat susahmu rasa sayangku semakin besar. Rasa cintaku menuntunku untuk selalu ada untukmu. Ketulusan tidak akan bisa diukur dari sehat tidaknya seseorang. Jika kamu berpikir aku akan pergi, aku katakan sesungguhnya kamu belum mengerti arti cinta yang sebenarnya."
Dia tak bergeming. Ah, apakah perempuan memang seegois itu? Apakah ketika rasa percaya diri mereka pudar, jalan yang mereka pilih adalah menyendiri? Kalau dia berpikir, aku akan pergi, berarti dia belum mengenal siapa aku. Sungguh, aku bukanlah pengecut yang bisa lari dari rasa sakit orang yang aku sayangi.Â
Dalam keputus-asaannya, aku terus menyemangati dia untuk tegar. Berbagai cara aku lakukan agar penyakitnya bisa sembuh. Dari mulai kucarikan daun sirsak yang aku dapatkan dari halaman Masjid Taichung. Menyemangatinya untuk terus berobat dari dokter ke dokter. Hingga akhirnya sebuah ucapan pahit kembali aku dengar dari bibir mungilnya. Dia bilang, kemungkinan dia tidak akan bisa punya anak. Dia menolak operasi demi menghindari pengangkatan rahim. Sedangkan pengobatan herbal dengan daun sirsak sedikit membuahkan hasil. Tumor yang satu hilang, akan tetapi satu lagi semakin membesar. Aku tidak bisa membayangkan apa yang ia rasakan. Gadis manis, Si Gigi Kelinci yang diterpa banyak sekali cobaan. Ya Allah, apakah dia kembali memintaku untuk pergi?
"Cari saja perempuan lain, Kang. Neng ikhlas. Menikahlah dengan orang lain." Lagi-lagi, dia mengucapkan sesuatu yang tidak ingin aku dengar.
"Selama kamu masih sendiri, sampai kapanpun akan seperti ini. Kecuali..?"
"Kecuali apa, Kang?"
"Kecuali kalau kamu sudah menikah dengan orang lain. Baru Aku akan pergi."
"Ya Allah, Kang.."
"Ini prinsip, Neng. Aku bukan laki-laki yang mudah jatuh cinta. Dan sekali aku jatuh cinta, sampai kapanpun akan aku perjuangkan. Aku tidak peduli seperti apa kamu, sehat sakitkah jasmanimu, yang paling penting dan harus kamu tahu, aku sangat menyayangimu."
Harapan-harapan itu masih mengambang. Semua masih sama. Dia disana dalam rasa sakitnya. Dan aku di sini dalam rasa sayangku yang semakin besar untuknya. Kenapa perihal cinta bisa serumit ini. Padahal kami pernah sepakat untuk pulang bersama. Mewujudkan indahnya walimatul 'ursy di desa kami tercinta. Harapan tanpa kepastian ini berlangsung hampir setahun. Dia memang masih memberi kabar. Tetapi dia tetap tak bergeming tentang ta'aruf kami. Dia membiarkan aku bernapas dengan paru-paruku yang berada di genggaman tangan kanannya. Dia membiarkan aku untuk hidup dengan jantungku yang berada di genggaman tangan kirinya. Sepedih inikah berharap tanpa ketidakpastian?
Sabtu, 20 Januari 2020
Winter kembali datang. Musim dingin tahun ini agak telat. Pertengahan bulan di awal tahun salju baru saja turun. Kesempatan ini aku gunakan untuk mendaki. Jiwa pecinta alamku kembali bergejolak. Delapan orang meluncur dengan taksi dari Taichung-Nantou. Objek kami adalah Mount Hehuan. Gunung Hehuan dengan tinggi 3.416meter ini berada di Taiwan Tengah. Puncak Gunung ini terletak di perbatasan kabupaten Nantou dan Hualien. Kami menempuh perjalanan selama tiga jam dengan ongkos berkisar $1000 per orang. Kami bermalam di atas gunung dengan hawa dingin menggigit. Pukul 22.30 kami sibuk mendirikan tenda. Hingga pukul 23.00 barulah kami istirahat di tenda masing-masing.
Keesokan hari kami menikmati runtuhan salju yang jatuh di atas bumi. Kubuka ponsel dan galleryku. Kutatap wajah Si Gigi Kelinci itu dari balik layar. Senyum manis nan lucu yang terus membayangiku sepanjang tahun membawaku ke alam halusinasi. Seandainya dia ada di sini, lengkap sudah bahagiaku pagi ini. Aku teringat kenangan lucuku bersamanya.Â
Lepas Tabligh Akbar Habih Syekh tahun kemarin, dua hari setelahnya, aku kembali datang ke rumah majikannya. Membawa sebuah benda kecil yang kuharap ia menyukainya. Dis terkejut, di  depannya ebuah cincin. Kuberikan cincin dan dia sematkan di jari manisnya. Dia tertawa terbahak-bahak karena cincin itu ternyata kebesaran. Dengan wajah tolol, entah aku harus malu atau ikut tertawa. Yang jelas tawa Si Gigi Kelinci itu begitu renyah dan selalu dalam ingatan. Tawa reflek gadis sederhana yang mempesona.
Di ketinggian puncak ini aku masih berharap. Dalam ketidakpastian aku masih terus berdo'a. Untuk kesembuhannya, semangat hidupnya, dan keselamatannya dimanapun ia berada. Entah ta'aruf ini akan berakhir bahagia atau malah kecewa? Rasanya semua itu bukan lagi hal yang penting bagiku. Hidup mati manusia sudah diatur olehNya, apalagi hanya perihal jodoh. Jika kelak bukan aku yang bersanding dengannya, semoga dia mendapat laki-laki yang lebih mencintainya daripada aku. Dan jika kelak aku kembali jatuh cinta, semoga cintaku yang akan datang tak sebesar cinta yang saat ini aku rasakan untuknya. Agar aku tak merasakan lagi pahitnya kecewa, Zacky.
Oleh; Iin Indriyani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H