"Oh, iya, Mbak. Sebentar."
Alamat lengkap Masjid Taichung yang terletak di daerah Nantun segera aku berikan kepadanya. Profilnya aku tidak kenal. Bukan teman di IMIT dan Organisasiku yang lain. Sejauh ini aku cukup dingin terhadap perempuan. Bertahun-tahun di Formosa, waktu libur hanya kuhabiskan untuk kegiatan di mushola. Ribuan perempuan berjilbab panjang yang bersliweran depan mata jarang kuperhatikan.Â
Tetapi untuk perempuan satu ini, entah mengapa Allah sepertinya memberikan ruang di hatiku. Dari pertanyaan di messenger itu, selalu ada celah untuk saling memberi pesan. Ucapan selamat pagi dan selamat malam yang sederhana. Baris-baris ketikan kata-perkata yang sederhana. Â Kenyamanan itu tiba-tiba saja datang walau kami belum dipertemukan. Apalagi sejak tahu ternyata dia satu desa denganku, obrolan kami malah semakin mengasyikkan.Â
"Bersyukur banget ya, Kang. Siapapun yang mendapatkan hatimu. Kamu laki-laki yang gak banyak tingkah, sederhana, aktif di kegiatan keAgaman pula." Ucapannya membuat telingaku geli.
"Aku hanya gak suka menghabiskan waktu untuk sesuatu yang gak berguna, Neng."
"Iya, Kang. Soalnya di Taiwan ini, kan, umumnya pada kebawa pergaulan yang gak bener. Pada bergaul melebihi batas."
"Iya, semoga bukan kita. Untuk mereka yang tenggelam dalam dosa, kita cukup do'akan semoga diberi hidayah dan ampunan."
"Iya, benar. Aamiin."
Diapun tak sungkan bercerita tentang kisah asmaranya yang selalu berujung pengkhianatan. Aku tak heran, di Formosa ini, kalau tak hati-hati memberikan hati, tak sedikit yang berujung patah hati. Itu kenapa malas sekali untukku membuka pintu hati. Kalau tidak untuk serius ke pelaminan, lebih baik sendiri dalam kekhusyukan.Â
Kedekatan kami begitu sederhana. Dan itu terlewati cukup lama. Hampir satu tahun. Sebatas chatt dan telepon hingga larut malam. Tak pernah bertemu karena dia belum diizinkan libur oleh majikannya. Tak mengapa, aku hanya ingin menjadi bagian yang ada dalam kesepiannya, itu sudah cukup. Meski aku sendiri tak tahu, kenapa aku bisa seperti ini kepadanya. Jatuh cintakah? Apakah ini sungguh cinta? Tanpa sekalipun pertemuan?Â
Pertengahan 2018, ada tamu yang mengetuk pintu hatiku secara paksa. Berusaha masuk walau tahu telah terkunci amat rapat. Perempuan satu ini juga aktif di acara keAgamaan. Wajahnya bulat, kedua matanya juga bulat. Dia gadis yang riang juga ceria. Menggemaskan memang. Dari kedekatan kami, bahkan dia pernah mengajakku menikah di sini. Tetapi aku menolaknya.Â