Harapan-harapan itu masih mengambang. Semua masih sama. Dia disana dalam rasa sakitnya. Dan aku di sini dalam rasa sayangku yang semakin besar untuknya. Kenapa perihal cinta bisa serumit ini. Padahal kami pernah sepakat untuk pulang bersama. Mewujudkan indahnya walimatul 'ursy di desa kami tercinta. Harapan tanpa kepastian ini berlangsung hampir setahun. Dia memang masih memberi kabar. Tetapi dia tetap tak bergeming tentang ta'aruf kami. Dia membiarkan aku bernapas dengan paru-paruku yang berada di genggaman tangan kanannya. Dia membiarkan aku untuk hidup dengan jantungku yang berada di genggaman tangan kirinya. Sepedih inikah berharap tanpa ketidakpastian?
Sabtu, 20 Januari 2020
Winter kembali datang. Musim dingin tahun ini agak telat. Pertengahan bulan di awal tahun salju baru saja turun. Kesempatan ini aku gunakan untuk mendaki. Jiwa pecinta alamku kembali bergejolak. Delapan orang meluncur dengan taksi dari Taichung-Nantou. Objek kami adalah Mount Hehuan. Gunung Hehuan dengan tinggi 3.416meter ini berada di Taiwan Tengah. Puncak Gunung ini terletak di perbatasan kabupaten Nantou dan Hualien. Kami menempuh perjalanan selama tiga jam dengan ongkos berkisar $1000 per orang. Kami bermalam di atas gunung dengan hawa dingin menggigit. Pukul 22.30 kami sibuk mendirikan tenda. Hingga pukul 23.00 barulah kami istirahat di tenda masing-masing.
Keesokan hari kami menikmati runtuhan salju yang jatuh di atas bumi. Kubuka ponsel dan galleryku. Kutatap wajah Si Gigi Kelinci itu dari balik layar. Senyum manis nan lucu yang terus membayangiku sepanjang tahun membawaku ke alam halusinasi. Seandainya dia ada di sini, lengkap sudah bahagiaku pagi ini. Aku teringat kenangan lucuku bersamanya.Â
Lepas Tabligh Akbar Habih Syekh tahun kemarin, dua hari setelahnya, aku kembali datang ke rumah majikannya. Membawa sebuah benda kecil yang kuharap ia menyukainya. Dis terkejut, di  depannya ebuah cincin. Kuberikan cincin dan dia sematkan di jari manisnya. Dia tertawa terbahak-bahak karena cincin itu ternyata kebesaran. Dengan wajah tolol, entah aku harus malu atau ikut tertawa. Yang jelas tawa Si Gigi Kelinci itu begitu renyah dan selalu dalam ingatan. Tawa reflek gadis sederhana yang mempesona.
Di ketinggian puncak ini aku masih berharap. Dalam ketidakpastian aku masih terus berdo'a. Untuk kesembuhannya, semangat hidupnya, dan keselamatannya dimanapun ia berada. Entah ta'aruf ini akan berakhir bahagia atau malah kecewa? Rasanya semua itu bukan lagi hal yang penting bagiku. Hidup mati manusia sudah diatur olehNya, apalagi hanya perihal jodoh. Jika kelak bukan aku yang bersanding dengannya, semoga dia mendapat laki-laki yang lebih mencintainya daripada aku. Dan jika kelak aku kembali jatuh cinta, semoga cintaku yang akan datang tak sebesar cinta yang saat ini aku rasakan untuknya. Agar aku tak merasakan lagi pahitnya kecewa, Zacky.
Oleh; Iin Indriyani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H