Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Muara Hati Sang Novelis, Formosa (Part.2)

6 Desember 2019   18:20 Diperbarui: 6 Desember 2019   18:22 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Louse kembali fokus menyetir. Aku melihat di sekelilingku banyak area perkebunan dan persawahan. Setelah tujuh bulan pertama aku menetap di pegunungan, dan sekarang aku menetap di pedesaan.

Tak apa, aku tidak mempermasalahkan. Yang terpenting, aku mendapat pekerjaan yang lebih ringan dari sebelumnya. Dan tentu saja, aku berharap bisa mendapatkan majikan yang lebih menghormati dan menghargaiku sebagai care giver.

***

9 Mei 2018,

Hujan turun rintik-rintik. Awan hitam bergerumul sejak kemarin. Kerlip bintang yang setia menyapa di kala senja, kini tak muncul. Semuanya basah. Rumput sintetis di halaman rumah tampak basah. Pohon-pohon cemara pun basah. Hawa dingin kembali menyusup kulit setelah dua bulan terusir hangatnya musim semi.

Aku duduk di meja kerjaku. Menatap layar tablet yang setia menemaniku dalam setahun terakhir ini. Merenungi kontrak kerjaku yang tersisa satu tahun lagi. Ya, dua tahun sudah aku berada di bumi Formosa. Tujuh bulan di majikan pertama dan delapan belas bulan di majikan yang sekarang.

Satu setengah tahun setelah malam-malam mengerikan itu berhasil kulewati. Waktu berputar terasa begitu cepat. Keadilan telah ditegakkan. Cinta Tuhan semakin aku rasakan. Di sini, Puyan-Changhua, aku mendapatkan keadilan yang belum pernah aku dapatkan di dua negara sebelumnya, Singapura dan Hongkong.

Di sini aku merawat seorang nenek yang masih sehat. Satu tahun pertama, aku akui beliau memang cerewet sekali. Nada bicaranya sangat keras terkadang juga kasar. Tak jarang, kami adu mulut karena tuduhan beliau yang tak pernah aku lakukan. Aku pun sempat merasa kesal, karena aku sering disuruh untuk bekerja di kebun yang berada di depan dan belakang rumah.

Akan tetapi, selalu aku coba menjalani dengan penuh kenikmatan. Alasan utamaku bertahan---karena di sini, aku punya keluangan waktu untuk menulis. Ya, satu tahun terakhir ini, aku merangkap sebagai buruh migran sekaligus pengarang.

Tiga buah novel berhasil aku terbitkan di tengah kesibukanku menjaga Nenek dan mengurus kebun. Aku tidak pernah merasa gengsi atau minder. Dengan pendidikan yang minim sekali pun, aku yakin, pasti aku bisa merayapkan asa lewat ketikan jari-jari liarku setiap malam.

Awalnya aku ngumpet-ngumpet. Kebetulan aku memiliki kamar pribadi di rumah ini. Setiap malam aku menulis naskah novel sekitar delapan sampai sepuluh halaman. Siang hari aku gunakan untuk membaca buku dan istirahat sebentar. Sedangkan pagi dan sore, aku habiskan untuk bekerja sambil mencari inspirasi cerita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun