Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Muara Hati Sang Novelis, Formosa (Part.2)

6 Desember 2019   18:20 Diperbarui: 6 Desember 2019   18:22 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketegasanku membungkam mulut penerjemahku. Sedangkan wajah Tuan dan Nyonya terlihat sedih sekali. Mereka tidak mau aku pergi. Nyonya sudah sangat suka denganku.

Bahkan di hari terakhirku di rumah itu, Nyonya masih belum tahu kelakuan Tuan seperti apa terhadapku. Aku menyimpan masalah itu dari Nyonya. Aku tidak mau beliau sedih. Tentang Tuan, kuakui sejak aku meminta pindah---sikapnya berubah baik padaku.

Tuan tak lagi memakai pakaian tak sopan saat berada di dalam rumah. Apalagi meminta untuk memijat yang aneh-aneh. Dan Tuan juga sering bangun malam untuk membantuku jika Nyonya terbangun. Akan tetapi, hatiku sudah mantap untuk pergi. Aku ingin pindah ke tempat yang jauh lebih nyaman dan terbuka.

Tujuh bulan pertama perjuanganku di bumi Formosa ini cukup menguras airmata dan kesabaranku. Sudah waktunya aku harus tegas dalam mengambil keputusan. Sudah saatnya aku menegakkan keadilan untuk kebaikan diriku. Tuan dan penerjemahku sempat berdebat karena tak mau melepasku.

Akan tetapi dewi fortuna masih memihakku. Beberapa jam usai perdebatan itu, akhirnya Tuan menandatangani perpindahanku dengan pasrah. Dan hari itu aku keluar dari rumah Tuan dengan penuh kemenangan. Ya, aku menang.

Dari majikan serakah yang tak bisa menghargai ketulusan seorang care giver. Setidaknya, setelah aku keluar dari rumah itu, Tuan akan tahu. Betapa susahnya mencari perawat sekaligus pembantu yang tulus dan ikhlas mengabdi pada keluarganya.

Satu hari setelahnya, aku langsung diantar kembali ke majikan baruku. Aku tidak terlalu memikirkan pekerjaanku nanti seperti apa. Ringankah? Lebih beratkah? Aku tidak tahu.

Yang aku yakini, job itu adalah rezeki dari Tuhan yang wajib aku terima. Karena aku tidak mau berlama-lama di agency. Membuang waktu. Membuang tenaga untuk bekerja di rumah Boss agen tanpa dibayar sepeser pun. Sungguh damai hatiku.

Setelah berbulan-bulan terkurung, akhirnya aku keluar juga. Menghirup udara segar. Bertemu banyak teman. Dan bisa tertidur lelap tanpa bayang-bayang wajah sadis Tuan lagi. 

"Ingat ya, job kamu jaga Nenek masih sehat dan ada kebun di depan rumahnya. Kamu jalani dulu antara dua atau tiga bulan. Cari uang dulu, kalau memang tidak cocok, kamu boleh bilang ke saya." Ujar penerjemahku.

"Baik, Louse." Jawabku singkat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun