'Touyuan International Airport', aku menunggu jemputan bis yang akan mengantarkan aku dan teman-teman lain ke penampungan agency, pikirku. Tapi ternyata bukan!. Kami diboyong ke sebuah tempat penampungan yang sangat sempit dan kotor. Koper-koper berserakan di mana-mana.
Bau kamar mandi yang menyengat semakin membuatku ingin muntah yang kutahan sejak tadi. Baru istirahat beberapa puluh menit, seorang wanita bernada suara kasar membawa kami ke tempat check-up.
Selesai check-up, baru kami dijemput oleh agency masing-masing. Kupikir, aku bisa beristirahat di kantor agency walau sebentar saja. Sekali lagi, tidak! Selesai didata, aku langsung diantar ke tempat majikanku. Aku nyaris tak percaya dengan keadaan rumah majikanku saat itu.
Rumah berlantai empat dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Mirip pesawat yang tergelincir di atas landasan. Atau kapal yang pecah di tengah lautan. Rumah itu sangat kotor. Barang-barang berserakan di mana-mana. Kedua mataku terfokus pada wanita paruh baya yang tergeletak di atas kursi.
Wanita gemuk dan tinggi itulah yang sakit lumpuh karena obesitas, istri dari lelaki berhati iblis yang kupanggil Tuan saat itu. Sungguh, hari yang paling melelahkan bagiku. Di detik dan jam yang sama, aku mulai bekerja tanpa istirahat sebentar pun. Inikah Formosa yang syahdu itu?
***
5 Desember 2016,
"Majikanmu meminta kamu untuk bekerja tiga hari lagi. Kamu mau tidak?" tanya penerjemahku, saat hari yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba.
"Saya tidak mau."
"Kemarin ada pekerja yang mau gantiin kamu, 'kan? Kenapa dia tidak mau bekerja di sini, ngomong apa kamu sama dia?"
"Saya tidak bicara apa pun dia sudah tahu sendiri. Bekerja di sini bukan hal yang mudah. Dia bekerja baru satu malam sudah tidak tahan. Apalagi saya yang sudah tujuh bulan di sini?" Jawabku.
Ketegasanku membungkam mulut penerjemahku. Sedangkan wajah Tuan dan Nyonya terlihat sedih sekali. Mereka tidak mau aku pergi. Nyonya sudah sangat suka denganku.
Bahkan di hari terakhirku di rumah itu, Nyonya masih belum tahu kelakuan Tuan seperti apa terhadapku. Aku menyimpan masalah itu dari Nyonya. Aku tidak mau beliau sedih. Tentang Tuan, kuakui sejak aku meminta pindah---sikapnya berubah baik padaku.
Tuan tak lagi memakai pakaian tak sopan saat berada di dalam rumah. Apalagi meminta untuk memijat yang aneh-aneh. Dan Tuan juga sering bangun malam untuk membantuku jika Nyonya terbangun. Akan tetapi, hatiku sudah mantap untuk pergi. Aku ingin pindah ke tempat yang jauh lebih nyaman dan terbuka.
Tujuh bulan pertama perjuanganku di bumi Formosa ini cukup menguras airmata dan kesabaranku. Sudah waktunya aku harus tegas dalam mengambil keputusan. Sudah saatnya aku menegakkan keadilan untuk kebaikan diriku. Tuan dan penerjemahku sempat berdebat karena tak mau melepasku.
Akan tetapi dewi fortuna masih memihakku. Beberapa jam usai perdebatan itu, akhirnya Tuan menandatangani perpindahanku dengan pasrah. Dan hari itu aku keluar dari rumah Tuan dengan penuh kemenangan. Ya, aku menang.
Dari majikan serakah yang tak bisa menghargai ketulusan seorang care giver. Setidaknya, setelah aku keluar dari rumah itu, Tuan akan tahu. Betapa susahnya mencari perawat sekaligus pembantu yang tulus dan ikhlas mengabdi pada keluarganya.
Satu hari setelahnya, aku langsung diantar kembali ke majikan baruku. Aku tidak terlalu memikirkan pekerjaanku nanti seperti apa. Ringankah? Lebih beratkah? Aku tidak tahu.
Yang aku yakini, job itu adalah rezeki dari Tuhan yang wajib aku terima. Karena aku tidak mau berlama-lama di agency. Membuang waktu. Membuang tenaga untuk bekerja di rumah Boss agen tanpa dibayar sepeser pun. Sungguh damai hatiku.
Setelah berbulan-bulan terkurung, akhirnya aku keluar juga. Menghirup udara segar. Bertemu banyak teman. Dan bisa tertidur lelap tanpa bayang-bayang wajah sadis Tuan lagi.Â
"Ingat ya, job kamu jaga Nenek masih sehat dan ada kebun di depan rumahnya. Kamu jalani dulu antara dua atau tiga bulan. Cari uang dulu, kalau memang tidak cocok, kamu boleh bilang ke saya." Ujar penerjemahku.
"Baik, Louse." Jawabku singkat.
Louse kembali fokus menyetir. Aku melihat di sekelilingku banyak area perkebunan dan persawahan. Setelah tujuh bulan pertama aku menetap di pegunungan, dan sekarang aku menetap di pedesaan.
Tak apa, aku tidak mempermasalahkan. Yang terpenting, aku mendapat pekerjaan yang lebih ringan dari sebelumnya. Dan tentu saja, aku berharap bisa mendapatkan majikan yang lebih menghormati dan menghargaiku sebagai care giver.
***
9 Mei 2018,
Hujan turun rintik-rintik. Awan hitam bergerumul sejak kemarin. Kerlip bintang yang setia menyapa di kala senja, kini tak muncul. Semuanya basah. Rumput sintetis di halaman rumah tampak basah. Pohon-pohon cemara pun basah. Hawa dingin kembali menyusup kulit setelah dua bulan terusir hangatnya musim semi.
Aku duduk di meja kerjaku. Menatap layar tablet yang setia menemaniku dalam setahun terakhir ini. Merenungi kontrak kerjaku yang tersisa satu tahun lagi. Ya, dua tahun sudah aku berada di bumi Formosa. Tujuh bulan di majikan pertama dan delapan belas bulan di majikan yang sekarang.
Satu setengah tahun setelah malam-malam mengerikan itu berhasil kulewati. Waktu berputar terasa begitu cepat. Keadilan telah ditegakkan. Cinta Tuhan semakin aku rasakan. Di sini, Puyan-Changhua, aku mendapatkan keadilan yang belum pernah aku dapatkan di dua negara sebelumnya, Singapura dan Hongkong.
Di sini aku merawat seorang nenek yang masih sehat. Satu tahun pertama, aku akui beliau memang cerewet sekali. Nada bicaranya sangat keras terkadang juga kasar. Tak jarang, kami adu mulut karena tuduhan beliau yang tak pernah aku lakukan. Aku pun sempat merasa kesal, karena aku sering disuruh untuk bekerja di kebun yang berada di depan dan belakang rumah.
Akan tetapi, selalu aku coba menjalani dengan penuh kenikmatan. Alasan utamaku bertahan---karena di sini, aku punya keluangan waktu untuk menulis. Ya, satu tahun terakhir ini, aku merangkap sebagai buruh migran sekaligus pengarang.
Tiga buah novel berhasil aku terbitkan di tengah kesibukanku menjaga Nenek dan mengurus kebun. Aku tidak pernah merasa gengsi atau minder. Dengan pendidikan yang minim sekali pun, aku yakin, pasti aku bisa merayapkan asa lewat ketikan jari-jari liarku setiap malam.
Awalnya aku ngumpet-ngumpet. Kebetulan aku memiliki kamar pribadi di rumah ini. Setiap malam aku menulis naskah novel sekitar delapan sampai sepuluh halaman. Siang hari aku gunakan untuk membaca buku dan istirahat sebentar. Sedangkan pagi dan sore, aku habiskan untuk bekerja sambil mencari inspirasi cerita.
Ketertarikanku terhadap dunia tulis menulis berawal dari sebuah grup kecil yang aku dirikan di jejaring sosial facebook. Itu adalah grup tertutup tentang serial India yang memiliki ratusan member dari seluruh Indonesia. Terkesan sepele memang. Tapi bagiku itu adalah nikmat.
Bagaimana tidak? Dari para memberlah, aku berani menulis cerbung. Dari cerbung-cerbung yang kuposting setiap hari di wall facebook, aku rombak menjadi novel. Aku terbitkan dan aku jual.
Aku sangat yakin, hal sekecil apa pun akan menjadi besar jika kita mau menghargai dan menghormatinya dengan penuh kebesaran jiwa. Bukan di Indonesia, tapi di sini, Formosa aku mulai menulis. Inikah Formosa yang syahdu itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H