Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suryani Kartiningsih

26 November 2019   14:50 Diperbarui: 26 November 2019   14:54 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku menatap matahari bersinar dengan setianya

Sedang diri ini seakan meredup dengan takdirNya

Nan jauh di sana ada mereka merindu hadirku

Sedang di sini ada hatiku yang menjerit pilu

***

Sore itu, tiba-tiba saja dia datang di saat aku benar-benar membutuhkan teman. Aku  sadar, Tuhan memang selalu tahu apa yang kita butuhkan.  Senyumnya mengembang, gingsulnya terlihat oleh kedua mataku. Perempuan polos yang manis sekali, wajah bersih nan cantik alami khas wanita Jawa. Dengan sopan dia menyapa, "Hai, aku duduk disini, boleh?"

"Ya, tentu saja. Baru datang, ya, Mbak? Diantar siapa?" Jawabku sekaligus bertanya.

"Tuh,.." Dia menunjuk  keluar ruangan, seorang laki-laki berbadan tinggi. 

"Sponsormu atau saudaramu?"

"Sponsorku." Jawabnya singkat.

Seakan terkoneksi begitu saja, kami langsung akrab.  Sejak hari itu kami berteman dekat. Menjadi sahabat, selalu berbagi dalam suka dan duka di tempat asing yang baru kami pijak. Setiap hari, kami salat bersama di ruangan sempit di samping dapur sebelah kanan. Setiap kali aku bersujud kepadaNya, setiap kali itu pula airmataku menetes tak terkira. Teringat ibu, ayah, kakak dan adik yang aku tinggalkan di rumah. 

Aku mengambil keputusan yang begitu cepat sekali. Menjadi calon Tkw di negara berkomitment time is money. Negara kecil nan bersih dengan berbagai ras yang padat penduduknya. Yang orang-orangnya berjalan kaki begitu cepat setiap waktu. Yang selalu mengutamakan kualitas serta tanggung jawab yang besar, Singapura. Usiaku, lebih cocok dipanggil anak-anak berseragam putih abu-abu. Masih muda sekali. Bahkan adikku yang kini berusia dua belas tahun, saat itu baru berumur tujuh bulan saja. Masa-masa, yang seharusnya aku masih menikmati menjadi siswi di sekolah, nasib justru mengantarku ke dunia yang begitu asing di mataku. 

"Mbak Ning, betah di sini?" Tegurku.

"Betah nggak betah ya harus betah. Kan kita udah di sini." Perempuan berlogat jawa yang sangat kental itu menjawab ringan, seperti keluar begitu saja dari mulutnya. 

"Hapalan bahasa inggris apa bisa kita kuasai dalam waktu dekat? Yang benar saja, setiap hari kita harus setor empat judul kepada Laushi."

Kulihat dia tersenyum tipis, tak menoleh kepadaku. Masih fokus pada lembar per lembar buku bahasa inggris yang ia pegang. 

"Kamu pasti bisa kalau kamu punya keyakinan untuk bisa."

"Maksudnya?" Aku ingin mendapat jawaban yang lebih jelas.

"Aku selalu berpegang teguh pada nasihat orangtuaku, bahwa segala hal yang kita bisa, pasti dulunya karena kita tidak bisa." Jawabnya tegas dan lugas.

Aku mengangguk pelan. 

Gadis jawa satu ini memang berbeda dari teman-temanku yang lain. Selain usianya memang lebih dewasa dari aku, dia juga memiliki rasa empati yang luar biasa terhadap orang lain. Tutur katanya lemah lembut, begitu sopan kepada siapa pun. Tetapi terkadang, dia juga suka ceplas-ceplos kalau bercanda denganku. Terutama jika waktu tidur tiba. Kebetulan kami tidur satu ranjang berdua. Ranjang khas PJTKI yang bersusun dua. Meski di bawah kosong, kami tak pernah tidur terpisah. Walau sempit, rasanya kami senang luar biasa. Kami bisa bergantian mengetes hapalan bahasa. Bahkan tidak butuh waktu lama, dia mampu menyalip hapalan bahasaku dengan komitmen teguhnya itu, 'Kamu pasti bisa karena dulunya kamu tidak bisa."

Aku sangat beruntung mendapatkan sahabat sebaik Mbak Ning. Bahkan kupikir, dia lebih layak kupanggil saudara. Kehadiran Mbak Ning benar-benar membuat aku lupa akan kesedihanku meninggalkan keluarga di usia semuda itu. Dia paling bisa membuatku tertawa. Dan hal yang selalu aku ingat, Mbak Ning selalu duduk bersila setiap selesai salat, memanjatkan do'a dengan khusyuk. Hal itu yang masih aku peragakan hingga sekarang. Duduk bersila selesai salat terasa lebih khusyuk dan selalu mengingatkan aku pada Mbak Ning. 

Kami proses di salah satu PJTKI yang terletak di kota Bekasi. Sebuah rumah penampungan dengan halaman luas tempat kami berolahraga setiap pagi. Sebelah kanan ada pohon rambutan  yang tinggi berdaun lebat. Di sekeliling rumah itu dibangun tembok yang cukup tinggi. Tujuannya, agar kami para calon Tkw tak bisa kabur dari sana. Ya, selalunya ada yang berniat kabur dari tempat itu. Umumnya, mereka yang bermasalah dan memang tidak mantap untuk bekerja ke luar negeri. Banyak sekali calon Tkw di bawah umur, dan ironisnya yang paling muda adalah aku. Pelanggaran meloloskan Tkw di bawah umur sudah menjadi rahasia umum. Sampai detik ini masih banyak saja PJTKI yang berhasil meloloskan calon-calon tenaga kerja dengan cara mereka yang begitu cerdik.

Genap satu bulan aku tekurung di penampungan itu, tiba-tiba aku jatuh sakit. Di saat seperti itu seluruh kebahagiaan di hatiku lenyap seketika. Rindu pada keluarga semakin menggebu-gebu. Ah, tak bisa kujelaskan lewat kata, rasanya pedih sekali. Rasa ingin bertemu kedua orangtua bertarung dengan kesadaran saat itu aku ada dimana. Menyuruh mereka datang menjengukku? Aku tidak mau. Aku tidak mau mereka melihat keadaanku di rumah tahanan seperti itu. Aku tidak sanggup menuangkan lebih banyak airmata kesedihan lagi untuk mereka. Dan yang peduli padaku serta merawatku dengan tulus adalah gadis jawa itu, Mbak Ning. Dia tidak pernah meninggalkanku jika ada waktu senggang di luar jam pelajaran. Dia begitu sabar menjagaku dari mulai menyediakan makan minum dan obat-obatan.

Suatu hari aku mencari-cari pakaian kotorku yang belum sempat aku cuci karena kondisi tubuhku sangat down. Pakaian itu aku letakkan di dalam kardus di bawah tempat tidur kami. Aku terkejut mendapati kardus itu kosong. Hatiku bertanya-tanya, apa mungkin dia mencucinya? Ya Tuhan,..

"Mbak Ning mencuci semua pakaian kotorku?" Aku segera menghampiri dia saat masuk ke dalam kamar. Dia hanya tersenyum kecil.

"Iya, nggak apa-apa 'kan kamu lagi sakit."

"Ya Allah, Mbak Ning. Tapi itu 'kan ada......."

"Udah, jangan dibahas. Aku ikhlas 'kok."

Hatiku terenyuh, ada cairan bening di kedua sudut mataku. Terbuat dari apa hati perempuan satu itu. Pakaian kotorku mau dia cuci dengan tangannya sendiri. Terlebih yang membuat aku terharu, salah satu pakaianku kotor karena darah kotorku yang menempel di sana. Sejak dulu, aku memang seringkali sakit bertepatan dengan waktu menstruasiku tiba. Ya Allah, aku sungguh tak percaya ada orang yang memiliki hati setulus Mbak Ning. Apa dia tidak jijik? Dan kenapa dia tidak bertanya dulu kepadaku perihal pakaian kotorku itu? Sungguh, aku malu sekali dan merasa terbebani telah merepotkan dia saat itu.

Di bulan kedua, proses dokumen kami sudah lengkap untuk pemberangkatan. Dan aku yang terlebih dulu harus meninggalkan penampungan itu sebelum Mbak Ning. Hal itu membuat ia sangat sedih. Bahkan beberapa hari ia berusaha menjaga jarak dariku. Ia tak seakrab dulu. Wajahnya selalu menunduk setiap berpapasan denganku. Ya Tuhan, hatiku berat sekali meninggalkan dia secepat itu. Apalagi sikap dinginnya membuat aku semakin sedih. Aku paham, tidak mudah melepas seseorang yang selalu ada bersama kita di saat seperti itu. Waktu dimana kita sedang berjuang di tempat asing untuk terbang ke tempat yang lebih asing. 

Satu hari sebelum penerbangan, bapakku menjenguk sendirian. Aku yang meminta agar ibu, kakak dan adikku jangan sampai ikut. Atau aku akan semakin berat untuk pergi. Aku pasti akan menangis sejadinya sepulang mereka dari tempat itu. Di usiaku yang masih belia, kuakui aku cengeng sekali. 

"Nak, hati-hati. Semoga selamat, dapat majikan yang baik. Ingat pesan bapak, jangan pernah kamu ambil barang-barang yang bukan milikmu, sekalipun tergeletak di sembarang tempat. Ingat,ya, Nak?" 

"Baik, Pak." jawabku menunduk. 

Sejak kedatangan Bapak dari pagi hingga sore, aku selalu menghindar bertatap muka dengan beliau. Sesekali aku mengalihkan tatapanku ke teman-teman, atau berusaha sibuk bercanda dengan mereka. Entahlah, aku tidak sanggup berlama-lama menatap wajah bapak. Aku pasti langsung menangis. Aku tidak menyangka sudah melangkah sejauh itu. Sebentar lagi aku akan meninggalkan tanah airku untuk kesejahteraan keluargaku. Aku harus tegar di depan bapak. Aku tidak mau airmataku jatuh.

"Mamahmu nangis terus sejak kamu meninggalkan rumah sampai sekarang. Kami melarangmu berangkat, tapi kamu keras kepala, Nak. Umurmu masih sangat muda." Ujar bapak begitu menyesal.

"Tidak apa-apa, Pak. Biar aku belajar mandiri. Ya, 'kan, Pak?"

Kulihat beliau mengangguk terpaksa. Di tengah obrolan yag menarik airmata untuk keluar itu aku hadirkan Mbak Ning ke depan beliau. Sahabatku, saudara terbaikku itu mana mungkin tidak aku kenalkan pada bapakku. Mbak Ning, yang beberapa hari ini mendiamiku, hari itu nampak bahagia sekali di depan bapak. Bahkan kami sempat ramai-ramai berfoto untuk kenang-kenanganku di penampungan penuh perjuangan itu. Pukul 17.00 wib, bapak pulang. Aku mengintip beliau berjalan keluar gerbang dari balik jendela. Airmata yang kutahan sedari tadi bercucuran. Hingga tubuh tinggi kekar itu tak lagi terlihat kedua mataku, aku masih mematung dengan wajah basah.

Esoknya, semua koper sudah aku siapkan. Artinya, menunggu hitungan jam aku harus terbang. Meninggalkan penampungan penuh perjuangan dan teman-temanku di sana. Aku berpamitan satu per satu dengan mereka. Airmata mereka tumpah, termasuk Laushiku. Guru bahasa inggrisku yang berwajah sangar itu ternyata menangisi kepergianku. 

Ah, aku benar-benar tak menyangka. Ya, di bulan kedua itu kami memang cukup dekat. Meski aku paling muda di penampungan itu, tetapi Laushi mempercayai aku sebagai ketua kelas bahasa inggris di sana. Dan yang terakhir, aku berpamitan pada Mbak Ning. Aku datangi dia yang terbaring di tempat tidur kami. Ia sama sekali tak merespon kedatanganku, selain menunduk dan menutup mulut. Matanya sembab, wajah jawanya yang ayu terlihat pucat.

"Mbak Ning, aku pamit, ya?" 

Ia tetap tak menjawab sapaanku.

"Ning, jangan kayak gitu. Ini yang terakhir kalinya kalian bertemu. Di Singapura, belum tentu kita bisa dipertemukan lagi." Salah satu teman kami datang membantuku.

"Hati-hati di jalan, ya?" Suara Mbak Ning akhirnya keluar, sedikit terpaksa terdengar.

Kata-kata itu yang mengantarku keluar kamar. Bukan pelukan kasih sayangnya lagi. Aku paham apa yang ia rasakan. Aku pun turut merasakan rasa sakit yang sama. Orang bilang lebih sakit yang ditinggalkan daripada yang meninggalkan. Aku pun berpikir demikian. Tapi jauh di hatinya yang terdalam, aku yakin dia paham. Semua sudah konsekuensi dari proses keberangkatan, karena tujuan kami memang untuk meninggalkan tanah air. Rasa terima kasihku takkan pernah habis. 

Nuraniku takkan pernah lupa, pada sosok gadis jawa yang tulus hatinya. Entah, dimana dan apa kabarnya dia. Sejak saat itu hingga sekarang aku belum mendengar tentangnya. Aku sangat berharap suatu saat bisa menemukannya. Sahabatku, saudaraku yang memiliki hati sebening embun pagi. Kebaikannya yang besar takkan mudah aku lupakan walau bertahun-tahun lamanya, 12 tahun silam tepatnya. Ya, 12 tahun bukan waktu yang cepat. Tapi nama itu masih begitu melekat. Nama itu masih sangat aku ingat, perempuan ayu alami dari Sragen, Jawa Tengah itu bernama Suryani Kartiningsih.

Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun