Aku mengambil keputusan yang begitu cepat sekali. Menjadi calon Tkw di negara berkomitment time is money. Negara kecil nan bersih dengan berbagai ras yang padat penduduknya. Yang orang-orangnya berjalan kaki begitu cepat setiap waktu. Yang selalu mengutamakan kualitas serta tanggung jawab yang besar, Singapura. Usiaku, lebih cocok dipanggil anak-anak berseragam putih abu-abu. Masih muda sekali. Bahkan adikku yang kini berusia dua belas tahun, saat itu baru berumur tujuh bulan saja. Masa-masa, yang seharusnya aku masih menikmati menjadi siswi di sekolah, nasib justru mengantarku ke dunia yang begitu asing di mataku.Â
"Mbak Ning, betah di sini?" Tegurku.
"Betah nggak betah ya harus betah. Kan kita udah di sini." Perempuan berlogat jawa yang sangat kental itu menjawab ringan, seperti keluar begitu saja dari mulutnya.Â
"Hapalan bahasa inggris apa bisa kita kuasai dalam waktu dekat? Yang benar saja, setiap hari kita harus setor empat judul kepada Laushi."
Kulihat dia tersenyum tipis, tak menoleh kepadaku. Masih fokus pada lembar per lembar buku bahasa inggris yang ia pegang.Â
"Kamu pasti bisa kalau kamu punya keyakinan untuk bisa."
"Maksudnya?" Aku ingin mendapat jawaban yang lebih jelas.
"Aku selalu berpegang teguh pada nasihat orangtuaku, bahwa segala hal yang kita bisa, pasti dulunya karena kita tidak bisa." Jawabnya tegas dan lugas.
Aku mengangguk pelan.Â
Gadis jawa satu ini memang berbeda dari teman-temanku yang lain. Selain usianya memang lebih dewasa dari aku, dia juga memiliki rasa empati yang luar biasa terhadap orang lain. Tutur katanya lemah lembut, begitu sopan kepada siapa pun. Tetapi terkadang, dia juga suka ceplas-ceplos kalau bercanda denganku. Terutama jika waktu tidur tiba. Kebetulan kami tidur satu ranjang berdua. Ranjang khas PJTKI yang bersusun dua. Meski di bawah kosong, kami tak pernah tidur terpisah. Walau sempit, rasanya kami senang luar biasa. Kami bisa bergantian mengetes hapalan bahasa. Bahkan tidak butuh waktu lama, dia mampu menyalip hapalan bahasaku dengan komitmen teguhnya itu, 'Kamu pasti bisa karena dulunya kamu tidak bisa."
Aku sangat beruntung mendapatkan sahabat sebaik Mbak Ning. Bahkan kupikir, dia lebih layak kupanggil saudara. Kehadiran Mbak Ning benar-benar membuat aku lupa akan kesedihanku meninggalkan keluarga di usia semuda itu. Dia paling bisa membuatku tertawa. Dan hal yang selalu aku ingat, Mbak Ning selalu duduk bersila setiap selesai salat, memanjatkan do'a dengan khusyuk. Hal itu yang masih aku peragakan hingga sekarang. Duduk bersila selesai salat terasa lebih khusyuk dan selalu mengingatkan aku pada Mbak Ning.Â