Kami proses di salah satu PJTKI yang terletak di kota Bekasi. Sebuah rumah penampungan dengan halaman luas tempat kami berolahraga setiap pagi. Sebelah kanan ada pohon rambutan  yang tinggi berdaun lebat. Di sekeliling rumah itu dibangun tembok yang cukup tinggi. Tujuannya, agar kami para calon Tkw tak bisa kabur dari sana. Ya, selalunya ada yang berniat kabur dari tempat itu. Umumnya, mereka yang bermasalah dan memang tidak mantap untuk bekerja ke luar negeri. Banyak sekali calon Tkw di bawah umur, dan ironisnya yang paling muda adalah aku. Pelanggaran meloloskan Tkw di bawah umur sudah menjadi rahasia umum. Sampai detik ini masih banyak saja PJTKI yang berhasil meloloskan calon-calon tenaga kerja dengan cara mereka yang begitu cerdik.
Genap satu bulan aku tekurung di penampungan itu, tiba-tiba aku jatuh sakit. Di saat seperti itu seluruh kebahagiaan di hatiku lenyap seketika. Rindu pada keluarga semakin menggebu-gebu. Ah, tak bisa kujelaskan lewat kata, rasanya pedih sekali. Rasa ingin bertemu kedua orangtua bertarung dengan kesadaran saat itu aku ada dimana. Menyuruh mereka datang menjengukku? Aku tidak mau. Aku tidak mau mereka melihat keadaanku di rumah tahanan seperti itu. Aku tidak sanggup menuangkan lebih banyak airmata kesedihan lagi untuk mereka. Dan yang peduli padaku serta merawatku dengan tulus adalah gadis jawa itu, Mbak Ning. Dia tidak pernah meninggalkanku jika ada waktu senggang di luar jam pelajaran. Dia begitu sabar menjagaku dari mulai menyediakan makan minum dan obat-obatan.
Suatu hari aku mencari-cari pakaian kotorku yang belum sempat aku cuci karena kondisi tubuhku sangat down. Pakaian itu aku letakkan di dalam kardus di bawah tempat tidur kami. Aku terkejut mendapati kardus itu kosong. Hatiku bertanya-tanya, apa mungkin dia mencucinya? Ya Tuhan,..
"Mbak Ning mencuci semua pakaian kotorku?" Aku segera menghampiri dia saat masuk ke dalam kamar. Dia hanya tersenyum kecil.
"Iya, nggak apa-apa 'kan kamu lagi sakit."
"Ya Allah, Mbak Ning. Tapi itu 'kan ada......."
"Udah, jangan dibahas. Aku ikhlas 'kok."
Hatiku terenyuh, ada cairan bening di kedua sudut mataku. Terbuat dari apa hati perempuan satu itu. Pakaian kotorku mau dia cuci dengan tangannya sendiri. Terlebih yang membuat aku terharu, salah satu pakaianku kotor karena darah kotorku yang menempel di sana. Sejak dulu, aku memang seringkali sakit bertepatan dengan waktu menstruasiku tiba. Ya Allah, aku sungguh tak percaya ada orang yang memiliki hati setulus Mbak Ning. Apa dia tidak jijik? Dan kenapa dia tidak bertanya dulu kepadaku perihal pakaian kotorku itu? Sungguh, aku malu sekali dan merasa terbebani telah merepotkan dia saat itu.
Di bulan kedua, proses dokumen kami sudah lengkap untuk pemberangkatan. Dan aku yang terlebih dulu harus meninggalkan penampungan itu sebelum Mbak Ning. Hal itu membuat ia sangat sedih. Bahkan beberapa hari ia berusaha menjaga jarak dariku. Ia tak seakrab dulu. Wajahnya selalu menunduk setiap berpapasan denganku. Ya Tuhan, hatiku berat sekali meninggalkan dia secepat itu. Apalagi sikap dinginnya membuat aku semakin sedih. Aku paham, tidak mudah melepas seseorang yang selalu ada bersama kita di saat seperti itu. Waktu dimana kita sedang berjuang di tempat asing untuk terbang ke tempat yang lebih asing.Â
Satu hari sebelum penerbangan, bapakku menjenguk sendirian. Aku yang meminta agar ibu, kakak dan adikku jangan sampai ikut. Atau aku akan semakin berat untuk pergi. Aku pasti akan menangis sejadinya sepulang mereka dari tempat itu. Di usiaku yang masih belia, kuakui aku cengeng sekali.Â
"Nak, hati-hati. Semoga selamat, dapat majikan yang baik. Ingat pesan bapak, jangan pernah kamu ambil barang-barang yang bukan milikmu, sekalipun tergeletak di sembarang tempat. Ingat,ya, Nak?"Â