"Baik, Pak." jawabku menunduk.Â
Sejak kedatangan Bapak dari pagi hingga sore, aku selalu menghindar bertatap muka dengan beliau. Sesekali aku mengalihkan tatapanku ke teman-teman, atau berusaha sibuk bercanda dengan mereka. Entahlah, aku tidak sanggup berlama-lama menatap wajah bapak. Aku pasti langsung menangis. Aku tidak menyangka sudah melangkah sejauh itu. Sebentar lagi aku akan meninggalkan tanah airku untuk kesejahteraan keluargaku. Aku harus tegar di depan bapak. Aku tidak mau airmataku jatuh.
"Mamahmu nangis terus sejak kamu meninggalkan rumah sampai sekarang. Kami melarangmu berangkat, tapi kamu keras kepala, Nak. Umurmu masih sangat muda." Ujar bapak begitu menyesal.
"Tidak apa-apa, Pak. Biar aku belajar mandiri. Ya, 'kan, Pak?"
Kulihat beliau mengangguk terpaksa. Di tengah obrolan yag menarik airmata untuk keluar itu aku hadirkan Mbak Ning ke depan beliau. Sahabatku, saudara terbaikku itu mana mungkin tidak aku kenalkan pada bapakku. Mbak Ning, yang beberapa hari ini mendiamiku, hari itu nampak bahagia sekali di depan bapak. Bahkan kami sempat ramai-ramai berfoto untuk kenang-kenanganku di penampungan penuh perjuangan itu. Pukul 17.00 wib, bapak pulang. Aku mengintip beliau berjalan keluar gerbang dari balik jendela. Airmata yang kutahan sedari tadi bercucuran. Hingga tubuh tinggi kekar itu tak lagi terlihat kedua mataku, aku masih mematung dengan wajah basah.
Esoknya, semua koper sudah aku siapkan. Artinya, menunggu hitungan jam aku harus terbang. Meninggalkan penampungan penuh perjuangan dan teman-temanku di sana. Aku berpamitan satu per satu dengan mereka. Airmata mereka tumpah, termasuk Laushiku. Guru bahasa inggrisku yang berwajah sangar itu ternyata menangisi kepergianku.Â
Ah, aku benar-benar tak menyangka. Ya, di bulan kedua itu kami memang cukup dekat. Meski aku paling muda di penampungan itu, tetapi Laushi mempercayai aku sebagai ketua kelas bahasa inggris di sana. Dan yang terakhir, aku berpamitan pada Mbak Ning. Aku datangi dia yang terbaring di tempat tidur kami. Ia sama sekali tak merespon kedatanganku, selain menunduk dan menutup mulut. Matanya sembab, wajah jawanya yang ayu terlihat pucat.
"Mbak Ning, aku pamit, ya?"Â
Ia tetap tak menjawab sapaanku.
"Ning, jangan kayak gitu. Ini yang terakhir kalinya kalian bertemu. Di Singapura, belum tentu kita bisa dipertemukan lagi." Salah satu teman kami datang membantuku.
"Hati-hati di jalan, ya?" Suara Mbak Ning akhirnya keluar, sedikit terpaksa terdengar.