Mohon tunggu...
Ii Hidayat
Ii Hidayat Mohon Tunggu... Lainnya - Masyarakat umum

Hobi saya adalah membaca Buku, menonton Film, Series, dan Anime, bermain Games: RPG, STRATEGI, SIMULATION, dan FPS, serta Tulis Menulis. Memiliki sedikit obsesi terhadap genre fantasi dalam media (Game, Film, dan terlebih Bukuuuu!)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Leucothoe: si Bunga yang Dapat Bicara

27 Agustus 2024   23:45 Diperbarui: 28 Agustus 2024   05:42 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Di sebuah halaman salah satu rumah dikawasan perumahan di jalan fiksi bernomor 11 terdapat sebuah bunga ajaib. Bunga berbatang tunggal bertangkai tinggi tegak dan tidak bercabang, berdaun hijau tua, dengan kepala bunga besar berkelopak majemuk berwarna kuning terang yang sangat indah.

Pemilik halaman itu adalah seorang wanita muda, berumur 25 tahun, Berambut hitam panjang bermata coklat menawan. Wanita itu tidak tahu bagaimana bunga itu tumbuh di halamannya. Ia pikir mungkin benihnya terbawa burung atau angin yang datang entah darimana.

Semenjak melihat bunga itu dengan hati-hati dia mengawasinya. Bunga itu terlihat berbeda dari bunga-bunga yang ada dihalaman nya. Meskipun dia tahu jenis bunga apa itu. Yang membuatnya berbeda terjadi disaat pertama kali kelopak berwarna kuning nya mulai terbuka dipagi hari yang cerah disaat matahari mulai menampak kan diri.

"Ah, Maaf. Aku baru saja terbangun," bunga itu berkata. "udara segar pagi hari yang terasa sejuk."

"Betapa cantik dan ajaibnya engkau." si wanita berkata dengan rasa takjub tidak percaya.

"Benarkah?" jawab si bunga dengan tersipu malu.

Si wanita muda itu mencari penyiram penuh air segar, lantas menyirami bunga itu.

ke-esokan hari nya di sore hari si wanita muda melihat bunga itu selalu mengarah ke arah sinar matahari sedari pagi. Walau dia tahu kalau bunga itu memiliki sifat heliotropis  karena menyimpan hormon khusus yang disebut hormon auxin yang menyebabkan batang tumbuh mengarah ke arah sinar matahari.

Tapi si wanita ingin mendengar langsung dari si bunga, ingin mengetahui lebih jelas alasan nya selain karena sifat itu. Dia mendekati si bunga dengan membawa penyiram penuh air dan menyirami si bunga.

"kenapa kamu selalu memperhatikan matahari?" si wanita seraya bertanya. "Apakah karena sifat heliotropis yang ada padamu? Atau kamu memiliki alasan lain?"

"Aku sekarang sudah mekar sempurna jadi aku tidak lagi memiliki sifat itu," jawab si bunga. "Aku bunga matahari, aku selalu tumbuh mengarah ke arah timur tapi bukan karena itu juga. Aku memiliki alasan lain."

"Apa alasan itu?" si wanita bertanya kembali. "Apa aku boleh mengetahui nya?"

"Boleh," jawab si bunga. "Tapi sebelum itu aku ingin kamu memberiku sebuah nama, nama yang cocok untuk ku."

 

"Baiklah, aku akan memberimu nama," ucap si wanita seraya tersenyum kecil. "Kamu bunga matahari yang suka menatap matahari, kamu memiliki jiwa serta kesadaran jadi aku akan memberimu nama leucothoe. Itu adalah nama seorang putri kekasih dewa matahari apollo dalam mitologi Yunani. Namun dia dihukum dan menjadi bunga matahari. Dan dia selalu melihat apollo menggunakan keretanya melintasi langit untuk menggerakkan matahari jadi menurutku itu nama yang cocok untuk mu."

"Itu nama yang bagus, aku suka." Kata si bunga merasa bahagia. "Terima kasih untuk namanya."

Si Wanita menaruh penyiram air yang dipegangnya dan duduk didekat Leucothoe.

  "Aku baru beberapa waktu berada di sini," Leucothoe meneruskan dengan nada berubah sayu. "Tapi aku sudah merasa kesepian. Aku sadar bahwa hanya aku satu-satunya bunga yang memiliki kesadaran dan jiwa. Aku mencoba memanggil bunga lain tapi mereka tidak menyahuti ku, mereka hanya terdiam. Jadi, aku hanya menatap matahari membayangkan dia tersenyum padaku. Selain itu. Itu membuatku melupakan rasa sepi ku karena terfokus dengan keindahan sinar nya."

"Kamu tidak sendiri," kata si wanita, "aku didekatmu. Aku selalu berada didekatmu. Jika, kamu kesepian dan butuh seseorang untuk menemani kamu bisa memanggilku."

"Terima kasih," ucap leucothoe sembari menundukan sedikit tangkainya. "Namun, aku juga bertanya-tanya untuk tujuan apa aku memiliki jiwa serta kesadaran sedangkan bunga lain tidak?"

 Sore hari berikutnya, setelah percakapan mereka, si wanita muda kembali duduk di dekat Leucothoe. Angin sepoi-sepoi menerpa lembut dedaunan di halaman itu, sementara matahari mulai perlahan-lahan meredup di ufuk barat. Si wanita menatap Leucothoe dengan penuh kasih sayang, seolah-olah bunga itu adalah teman yang telah lama ia kenal.

"Aku telah memikirkannya," si wanita mulai berbicara. "Tujuan yang kamu cari, mungkin itu bukan sesuatu yang langsung terlihat. Kadang, tujuan itu muncul dari apa yang kita alami, dari hubungan yang kita bangun."

Leucothoe merundukkan tangkainya sedikit, seolah-olah merenungkan kata-kata itu. "Mungkin kau benar," jawabnya dengan nada yang terdengar ragu. "Tapi kenapa hanya aku yang diberi kesadaran ini? Kenapa tidak bunga lain? Aku merasa berbeda... terpisah."

Si wanita tersenyum tipis, lalu mendekatkan diri, hampir bisa merasakan kehangatan dari kelopak kuning yang cerah itu. "Mungkin karena kamu istimewa. Setiap makhluk punya peran dan makna masing-masing, meskipun kadang kita tidak langsung menyadarinya."

Leucothoe berdiam sejenak. "Aku ingin percaya itu," katanya pelan, "tapi setiap hari aku merasa semakin lelah. Kehidupan ini begitu singkat, dan aku takut tidak bisa menemukan jawabannya sebelum waktuku habis."

Si wanita merasakan rasa pedih di hatinya. Dia tidak ingin kehilangan Leucothoe, meskipun tahu bahwa bunga, seindah apa pun, akhirnya akan layu. "Mungkin kita tidak harus memahami segalanya sekarang. Kita hanya perlu merasakan dan menikmati setiap momen yang kita miliki."

Leucothoe menatap matahari yang perlahan tenggelam, warna-warna jingga memantul di kelopak bunganya. "Matahari selalu memberiku harapan. Setiap hari, ketika dia muncul, aku merasa seperti ada kesempatan baru untuk menemukan jawabanku. Tapi setiap sore, ketika dia pergi, aku merasa sedikit lebih hampa."

Si wanita mengangguk mengerti. "Aku juga merasa begitu, terkadang. Kehidupan ini penuh dengan ketidakpastian, tapi mungkin itulah yang membuatnya berharga. Kamu tidak sendirian, Leucothoe. Aku akan selalu di sini bersamamu."

Malam itu, ketika bintang-bintang mulai bermunculan di langit, si wanita membawa selimut dan duduk di samping Leucothoe. Mereka berdua diam, menikmati keheningan malam. Angin malam membawa suara gemerisik dedaunan, seolah menyanyikan lagu pengantar tidur untuk Leucothoe yang mulai mengatupkan kelopaknya.

Sebelum terlelap, Leucothoe berkata pelan, "Terima kasih. Aku merasa lebih tenang sekarang. Mungkin, jawabanku bukanlah sesuatu yang perlu kucari sendirian."

Si wanita tersenyum di bawah sinar bulan. "Benar. Mungkin jawabannya ada dalam kebersamaan ini."

Hari-hari berlalu, dan Leucothoe terus berbicara dengan si wanita, berbagi cerita, mimpi, dan perasaan. Mereka berbicara tentang langit, tentang burung-burung yang terbang melintasi cakrawala, dan tentang kehidupan di luar halaman kecil itu. Leucothoe mulai menyadari bahwa keberadaannya tidak lagi hanya tentang mencari jawaban, tapi tentang menikmati setiap momen dengan orang yang dia sayangi.

Namun, suatu pagi yang kelabu, Leucothoe tidak lagi bisa bangun dengan ceria seperti biasanya. Kelopaknya sedikit layu, dan batangnya terlihat lemah. Si wanita menyadari hal itu dan segera duduk di sampingnya, dengan hati yang cemas.

"Aku... aku merasa waktuku hampir habis," ucap Leucothoe lemah. "Tapi aku tidak lagi merasa takut."

Si wanita menggenggam lembut tangkai Leucothoe, mencoba menahan air mata yang mulai mengalir di pipinya. "Kamu telah memberikan begitu banyak kebahagiaan dan makna dalam hidupku. Aku tidak ingin kehilanganmu."

Leucothoe tersenyum lembut. "Kita semua akan pergi pada waktunya, tapi aku bahagia karena aku telah menemukan tujuanku. Tujuanku adalah untuk memberikan keindahan dan kebahagiaan, bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi juga untukmu."

Matahari yang selama ini selalu menjadi sahabat Leucothoe mulai muncul di balik awan. Sinar lembutnya menyelimuti bunga itu dengan kehangatan, seolah-olah mengucapkan selamat tinggal. Leucothoe mengarahkan kelopaknya ke arah matahari untuk terakhir kalinya, sebelum akhirnya menutupnya dengan tenang.

Si wanita mengusap tangkai Leucothoe, menyadari bahwa meskipun bunga itu akan segera layu, kenangan dan kebahagiaan yang telah mereka bagi akan selalu hidup dalam hatinya.

Dan di suatu sore yang tenang, ketika senja mulai merangkak di cakrawala, si wanita menanam biji dari Leucothoe di tempat yang sama. Dia tahu, suatu hari nanti, bunga baru akan tumbuh, dan dia akan selalu mengenang Leucothoe, bunga yang memberinya pelajaran tentang arti dari keberadaan, persahabatan, dan cinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun