Namun, suatu pagi yang kelabu, Leucothoe tidak lagi bisa bangun dengan ceria seperti biasanya. Kelopaknya sedikit layu, dan batangnya terlihat lemah. Si wanita menyadari hal itu dan segera duduk di sampingnya, dengan hati yang cemas.
"Aku... aku merasa waktuku hampir habis," ucap Leucothoe lemah. "Tapi aku tidak lagi merasa takut."
Si wanita menggenggam lembut tangkai Leucothoe, mencoba menahan air mata yang mulai mengalir di pipinya. "Kamu telah memberikan begitu banyak kebahagiaan dan makna dalam hidupku. Aku tidak ingin kehilanganmu."
Leucothoe tersenyum lembut. "Kita semua akan pergi pada waktunya, tapi aku bahagia karena aku telah menemukan tujuanku. Tujuanku adalah untuk memberikan keindahan dan kebahagiaan, bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi juga untukmu."
Matahari yang selama ini selalu menjadi sahabat Leucothoe mulai muncul di balik awan. Sinar lembutnya menyelimuti bunga itu dengan kehangatan, seolah-olah mengucapkan selamat tinggal. Leucothoe mengarahkan kelopaknya ke arah matahari untuk terakhir kalinya, sebelum akhirnya menutupnya dengan tenang.
Si wanita mengusap tangkai Leucothoe, menyadari bahwa meskipun bunga itu akan segera layu, kenangan dan kebahagiaan yang telah mereka bagi akan selalu hidup dalam hatinya.
Dan di suatu sore yang tenang, ketika senja mulai merangkak di cakrawala, si wanita menanam biji dari Leucothoe di tempat yang sama. Dia tahu, suatu hari nanti, bunga baru akan tumbuh, dan dia akan selalu mengenang Leucothoe, bunga yang memberinya pelajaran tentang arti dari keberadaan, persahabatan, dan cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H