Mohon tunggu...
Ihwan Subekti
Ihwan Subekti Mohon Tunggu... -

Seorang Pemuda yang mencoba memetamorfosa kumpulan diksi pada dirinya dalam lantunan kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Loudspeaker Hati Part 1

18 Oktober 2015   09:13 Diperbarui: 18 Oktober 2015   09:13 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

                Anita masih terbaring lemah di dalam kamarnya. Rasa kecewa yang begitu mendalam selalu menghantuinya. Namun ia tidak mau dirawat di rumah sakit. Meski keluarganya terus mendesak untuk merujuknya ke rumah sakit. Ia hanya tetap ingin di rumah dekat dengan kolam dengan suasana hening yang selalu menyelimutinya.

                Siang itu, kakak Anita dan isterinya menyempatkan untuk pulang ke rumah, sengaja untuk menengok keadaan adik semata wayangnya tercinta. Mereka datang dari luar kota jauh-jauh meluangkan waktunya untuk serambi bertemu dengan keluarganya yang sudah lama tak jumpa. Disaat bersamaan kawan-kawan sejati Anita pun datang menengok ke rumahnya. Mereka adalah Jonathan, Fandi, Lutfi, Idhar, dan Danang. Mereka bukan hanya sekadar sahabat, bagi Anita selain sahabat dalam bermain musik mereka sudah dianggap seperti keluarganya sendiri.

                Sayangnya, lemahnya kondisi Anita membuat kakak Anita menghentikan langkah-langkah para sahabatnya yang mencoba masuk untuk menengok kondisi Anita bersamaan. Karena Andri paham, bahwa adiknya perlu istirahat sejenak. Dan ia pun bergegas mengajak berbincang para sahabat Anita di teras rumah.

                “Sebaiknya kalian tunggu di luar dulu, mari kita ngobrol-ngobrol dulu di luar. Biar istri saya yang menemaninya untuk sementara waktu. Nanti lo kondisinya sudah cukup membaik silahkan kalian masuk.” Ajak Andri kepada para sahabat Anita.

                “Memangnya kenapa mas, kenapa kita gak boleh masuk?” Jawab Lutfi

                “Sudahlah, Lut. Benar kata Mas Andri. Biar dia memulihkan pikiran dan hatinya terlebih dahulu. Toh lo kita bergerombol seperti ini, takutnya malah membuat suasananya menjadi tambah gak nyaman”. Tepis Fandi membenarkan perkataan Andri.

                “Iya betul tuh kata Fandi, ada benarnya juga” Jawab Jonathan membenarkan perkataan perkataan Fandu.

                “Iya betul, lebih baik kita tunggu di luar dulu. Tapi nanti kita boleh masuk kan mas..” Pinta Danang kepada Andri seraya berjalan keluar bersama.

                “Tentu, kalian boleh masuk kok nanti. Tapi biar isteriku dulu mencoba membangkitkan mood nya sedikit biar kondisinya agak mendingan. Beri waktu untuk mereka mengobrol-ngobrol bersama. Kan lo sama-sama perempuan biasanya lebih mudah untuk refresh kembali moodnya” Jawab Andri sambil menepuk pundak Danang dan Lutfi.

                Benar saja, Ivena mulai memahami semua permasalahan yang sedang dialami oleh adik iparnya itu.

                “Anita, ingat jodoh itu ada di tangan Tuhan. Kau harus bersabar dengan semua ini. Tak perlu ada yang disesali atau bahkan membuatmu bersedih. Ingat loh, kau masih punya impian yang indah lebih indah dari apa yang kau bayangkan”

                “Betul sih mba, aku baru menyadari apa yang telah terjadi dari semua ini”

                “Makanya, please Get well soon ya So kau harus sirnakan semua kelemahanmu. Jangan membuat kami disini sedih. Bukankah kau ingin kembali ke sahabat-sahabatmu, bermain bersama, dan canda tawa bersama, iya kan?”

                “Ya tentu mba, masa sih aku pengin lemah kaya gini terus? Sumpah mba, pengen nge-band lagi ma temen-temen ku yang super gokil itu!”

                “Nah itu kau mau, tapi lo kondisimu seperti ini terus bagaimana kau bisa merasakan indahnya kebersamaan itu kembali. Mba juga pernah kok seperti kau Anita, dan ternyata obatnya cukup simpel kok.”

                “Apaan mangnya mba?”

                “Gampang kok, lo mba dulu sih lo lagi kaya gini seringnya dengerin musik-musik yang bisa ngebangkitin semangat”

                “Musik yang kaya apa mba?”

                “Yang temponya agak cepat sih. Biar suasana hati kita menjadi tergugah untuk melanjutkan aktivitas-aktivitas kita”

                “Ah yang benar mba?”

                “Beneran…!”

                “Bisa kasih contoh lagu apa yang biasa mba dengerin atau bahkan mba nyanyiin waktu itu?”

                “Iya mba kasih tau, tapi lo kau hafal juga liriknya, nyanyikan bersama ya”

                “Wah lo suruh nyanyi sih aku jagonya mba. Aku kan vocalis, ya meski sekarang keadaannya kaya gini tapi suaraku masih jauh lebih bagus dari mba”

                “Ah kau ini bisa aja”

                “Ya udah mba, ayo kasih tau apa lagunya”

                “Heum.. Lagu lawas sih sepertinya ini. Mungkin kedengarannya agak awam ditelingamu”

                “Tenang mba, apapun lagunya aku pasti hafal kok, pasti. Bahkan lagu-lagu sebelum aku dilahirkan, aku pasti bisa. Meski ya lupa-lupa sedikit liriknya”

                “Oh ya ini nih judul lagunya, lagu dari band lawas nih tapi namanya masih melambung hinga kini. Lagu ini nih, kau hafal nda lagu ini? Ivena serambi membuka icon music pada gadgetnya, memutar salah satu lagu favoritnya.

                “Lagu itu mah aku apal mba. Hayu atuh kita nyanyiin bareng mba”

                “Iya, tapi nanti dulu ya”

                “Apaplagi sih mba”

                “Mba ingin nyanyi bareng, asalkan kau mau turuti dulu keinginan mba, gimana?”

                “Loh, apa emangnya mba. Silahkan mba, asalkan jangan suruh lari-lari di depan rumah aja mba”

                “Ya endahlah, kau ini ada-ada aja”

                “ya udah apa mba?”

                “Mba ingin kau minum susu hangat dulu ya, mudah kan syaratnya?”

                “Ah gampang itu mba, tapi emangnya kenapa mba?”

                “Kau ini gimana, masa udah gede gini nda tau manfaatnya, lo kau sehari minum susu putih hangat tiga kali sehari, lalu esoknya kau pasti akan merasa enak makan, nah dari enak makan itulah kau makan apa saja lah yang kau suka, mulai dari makan buah kau habiskan sebanyak-banyaknya. Ada jeruk, ada pisang. Setelah itu jelas nasi. Nanti berangsur-angsur badanmu akan terasa enak”

                “Ah, yang bener mba?”

                “Iya mba berani jamin kok, karena air susu akan melarutkan bakteri di tenggorokkan. Lalu selanjutnya kau akan enak makan dan minum”

                “Benar nih?”

                “Ah kau ini, mba buatkan satu gelas ya”

                “Baiklah, tapi ingat setelah itu kita nyanyi bareng ya mba?”

                “Iya, tapi ingat juga satu lagi lupakan kejadian itu dan terutama lupakanlah si Indra. Biar dia merasakan sakit di Rumah Sakit itu akibat ulahnya sendiri”

                “Tapi mba, lo aku boleh tanya, apakah mba pernah ngerasain apa yang aku rasain sekarang ini mba?”

                “Lo mirip kisahnya dengan apa yang kau rasakan dan alami sekarang sepertinya tidak, apalagi asal kau tau cinta pertama mba kan kakakmu yang baik itu”

                “Ah yang bener mba?”

                “Masa mba bohong sih ma adik ipar mba sendiri. Dulu sih sebenarnya waktu kuliah di semester-semester awal, mba pernah ngerasain apa yang orang-orang biasa sebut dengan apa yang namanya cinta. Tapi, mba tetap menganggap apa yang mba rasakan itu hanyalah sekadar kekaguman belaka akan seorang pria yang begitu cerdas dan bijak dalam segala hal. Tapi sayang rasa kagum itu terpupuskan ketika mba tahu akhirnya dia sudah mempunyai pujaan hati. Dan semenjak itulah mba merasa mba nda mau terjerumus dalam kekaguman yang berlebihan karena itu hanya akan membawa kepada hal yang menyakitkan ketika sesuatu itu tak didapatkan”

                “Nah terus, kenapa sekarang bisa sama kakaku mba?”

                “Ceritanya begitu panjang, Anita”

                “Lo begitu, bagaimana dengan perasaan mba dengan lelaki yang pernah mba kagumi waktu itu”

                “Mba masih sangat mengagumi hingga kini bahkan mba sangat-sangat mencintainya”

                “Kok gitu mba, berarti mba udah ngeduain hati kakaku dong..!”

                “Loh ya enda Anita.”

                “Nah itu buktinya perasaan mba masih pada yang lain??!!”

                “Ya karena lelaki yang mba kagumi kala semster awal waktu kuliah itu ya dia adalah seorang lelaki yang kini menjadi suami mba”

                “Hah? Berarti kakaku donk mba?”

                “Yups, Anita. Kau betul. Akhirnya Tuhan mempertemukan kita, ketika mba tidak terjerumus pada suatu yang berlebihan tapi Tuhan malah mendekatkan hati kita berdua”

                “Tapi wanita yang bersama kakaku waktu itu?”

                “Dia adalah wanita yang sekarang ada dihadapanku, Kau Anita”

                “Oh…Ya aku ingat. Berarti mba kira waktu aku diajak ke kampus oleh kakaku untuk melihat-lihat disana, Mba kira aku adalah pacar kakaku. Ah mba itu terlalu cepat mendiagnosa sesuatu.”

                “Ya begitulah. Sudahlah Anita, mba jadi malu mengingatnya kembali. Yang jelas mba sekarang mba beruntung memiliki pria yang begitu baik seperti kakakmu itu”

                “Jelas donk, kakak siapa dulu…!!”

                “Ah jangan ke GR an dulu”

                “Tenang mba, aku gak bakalan terbang kok. Tapi mba kenapa nasibku gak seberuntung kalian ya”

                “Sudah ah jangan diungkit-ungkit lagi kisahmu. Kau masih mempunyai kita semua disini yang benar-benar lebih menyayangi kau setulus hati, iya kan?”

                “Iya betul juga sih mba”

                “Jadi, sekarang kau bisa belajar dari apa yang disebut dengan cinta. Tapi tetap kau tak boleh membencinya. Bagaimanapun dia mengajarkanmu suatu pelajaran yang tak kau dapat dari manapun”

                “Susah sebenarnya mba, Bahkan kejadian itu selalu terngiang di pikiranku. Aku sangat membenci Indra yang mencoba melabelkan dan mengatasnamakan cinta hanya untuk menodai kehormatanku. Lo bukan karena Tuhan, entahlah mba masa depanku akan seperti apa jadinya.”

                “Sudah sudah lah, mending sekarang mba bergegas buatkan susu putih hangat dulu ya”

                “Oke mba”

                Sebelum membuatkan satu gelas susu putih hangat. Ivena keluar menemui Andri dan sahabat-sahabat Anita. Mereka masuk dan menemani Anita, sedangkan Ivena bergegas ke dapur dan membuatkan susu hangat untuk Anita.

                Meski mereka tahu, bahwa kedatangannya yang menggerombol itu akan malah membuat Anita pusing, tapi namanya juga remaja mereka benar-benar tak sabar ingin bersama-sama melihat kondisi Anita sebagai sahabat sejatinya.

                “Hei, teman-teman”

                “Bagaimana keadaanmu, Anita?” tanya Idhar

                “Iya, bagaimana keadaanmu” sambung Danang

                “Baik-baik saja kan kamu?” sambung lagi oleh Lutfi

                “Eh tanyanya satu-satu dong, lo gitu nanti bukannya cepet sembuh malah yang ada tambah pusing” pungkas Andri serambi tersenyum melihat kebersamaan mereka.

                “Nda papa kak, iya aku baik-baik aja kok”

                “Syukurlah”

                “Ayo kita main lagi, kamu harus lekas semangat dan bangkit donk”

                “Iya betul kata Danang, lo kamu semangat kan nanti bisa main musik lagi”

                “Betul nih, kangen loh ma suaramu”

                “Ah si Fandi mah bukan kangen ma suaranya tuh”

                “Kangen ma orangnya tuh” celoteh Jonathan

                “Ah kamu ini, bisa aja Than…”

                “Eh rame banget nih, tanya-nya satu persatu donk. Suaranya ampe kedengaran ampe dapur loh” munculah Ivena memotong pembicaraan mereka dengan membawa segelas air susu putih hangat.

                “Iya mba, beginilah kita lo lagi kumpul-kumpul, ramenya ngalain sidang Parlemen ya..” jawab Jonathan

                “Ah kalian bisa aja, yaudah minum dulu susunya ini Anita”

                “Nah gitu donk, Anita. Banyak minum susur biar cepet gede, eh biar cepet sembuh maap” celoteh Danang

                “Oh iya mba, mba kan tadi janji mau nyanyi bareng setelah aku minum susu ini, ayo mba”

                “Iya-iya tapi suara mba jelek gak sebagus kau Anita. Kau aja yang nyanyi ya, mba ikut joged aja ya”

                “Ah mba ini, ya sudah mba.”

                “Ohya kebetulan kita bawa alat musik tuh”

                “Lagunya apa mba?”

                “Wah kebetulan banget ni lagunya, bisa kan kalian?”

                “Gampang itu mah mba”

                Suasana di kamar Anita pun malah bertambah ramai ketika teman-temannya memainkan alat musik dan mencoba menghibur hati Anita yang sedang gundah gulana. Meski dengan keadaan yang begitu lemah Anita tetap dapat membawakan lagu tersebut dengan suaranya yang merdu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun