Namun, BRICS juga menghadapi tantangan ideologis internal. China, sebagai negara sosialis dengan ekonomi terpusat, memiliki visi yang berbeda dengan India, yang lebih kapitalis dan berorientasi pasar bebas. Rusia, dengan pendekatan ekonomi otoriter, menambah kompleksitas ini.
Oleh karena itu, meskipun BRICS secara kolektif dianggap sebagai antitesis ekonomi Barat, perbedaan ideologi antar anggotanya dapat menjadi hambatan dalam mencapai visi bersama.
Kebijakan Pemerintahan Prabowo: Alasan dan Strategi
Keputusan pemerintahan Prabowo untuk bergabung dengan BRICS didasarkan pada beberapa pertimbangan strategis.
Pertama, Indonesia melihat peluang untuk meningkatkan diversifikasi pasar dan mengurangi ketergantungan pada negara-negara Barat, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global akibat pandemi COVID-19 dan perang dagang AS-China.
BRICS menawarkan akses ke pasar negara berkembang yang sedang tumbuh, seperti China dan India, yang menjadi mitra dagang utama Indonesia.
Kedua, bergabung dengan BRICS memberikan Indonesia kesempatan untuk memperkuat pengaruhnya dalam ekonomi global.
Sebagai anggota G20, Indonesia memiliki posisi strategis, tetapi keanggotaannya di BRICS dapat memberikan platform tambahan untuk mempromosikan kepentingan nasional di arena internasional.
Langkah ini juga mencerminkan ambisi Prabowo untuk memperluas peran Indonesia sebagai pemimpin di kawasan Asia Tenggara.
Ketiga, keputusan ini dapat dilihat sebagai langkah pragmatis untuk menyeimbangkan hubungan antara Barat dan Timur.
Dengan tetap mempertahankan hubungan baik dengan negara-negara Barat, Indonesia juga dapat memanfaatkan kemitraan dengan BRICS untuk meningkatkan daya tawar dalam negosiasi internasional.