"Pertanian sampai detik ini masih dibilang tidak menarik, tidak menguntungkan. Produksi  dan produktivitas rendah, serangan hama meningkat, sarana produksi seperti benih dan pupuk susah, harga dipermainkan mafia. Masa negara agraris impor beras, kedelai, gandum, garem, singkong dan lainya. siapa yang akan merubah kondisi seperti ini Ndra?. SDM nya yang terjun semakin tua, tidak berpendidikan, lama lama hilang kalau tak tergantikan. Kalau kita tidak ma terjun, siapa yang akan meneruskan, siapa yang akan membangun sektor pertanian?," ujar Anto masih bersemangat.
"Cukup. Terus gmana, loe mau apa sekarang Ndes?!. Lo mau tolak Bank Berdikari?. Lo mau pulang kampung garap sawah bokap loe?!," ujar Hendra yang sedikit kesal dikuliahi Anto.
"Nggak tahu Ndra, Gue bingung," ujar Anto dengan nada tak seperti tadi yang berapi-api, lalu duduk kembali.
"Oke, mendingan loe Sholat Istikharoh deh Akhi. Serahkan pilihan kepada Tuhan, kawan," ujar Hendra tetiba agamis dan bijak.
Anto menatap Hendra.
"Trust me, its work. Gue kemarin juga istikharoh pas dalam dilema memilih Ella anak AGB (Jurusan Agribisnis) atau Chaha anak GMSK (Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga) atau Melita anak Tanah (Jurusan Ilmu Tanah)," ujar Hendra nyengir.
"Geblek loe! Oke bro. Gue sholat dulu ya," ujar Anto.
 "Ya udah sono wudhu terus sholat yang khusyu, gue keluar dulu ya," Hendra keluar kamar dengan dua pucuk surat Anto yang masih ada ditangannya.
Anto pun sholat dan kemudian berdoa dengan khusyu, memohon petunjuk Tuhan dan agar diberikan pilihan yang terbaik. Usai Sholat, Anto mencari-cari dua pucuk suratnya.
"Ndra, loe bawa surat-surat gue?," teriak Anto.
"Ndes, loe disuruh pulang kampung, Adik loe, Sri, mau kawin sama juragan beras," ujar Hendra dari luar kamarnya lantang.
--0--