Benak Anto kemudian melayang pada kejadian pada suatu sore saat dirinya duduk di kelas 3 SMP. Bapaknya bermuram durja usai pulang dari sawah. Masih dengan 'seragam dinas', celana komprang hitam dan kaos partai lengan panjang yang berlepotan lumpur, Bapak tampak tak bersemangat. Tudungnya dilepas, Bapak duduk lalu memandang dengan tatapan kosong ke arah sawah yang masih terlihat di kejauhan dari teras rumah.
Ibu lalu bergegas keluar membawa gelas dan air minum dalam teko tanah. Duduk disamping Bapak, menuangkan isI teko ke dalam gelas dan menyerahkannya ke Bapak.
"Ana apa Ramane, deneng ketone sedih temen," kata Ibuku dengan bahasa ngapak yang ngoko namun tetap lembut.
Bapak menghela nafas panjang.
Ia menyempatkan diri meneguk habis air putih di gelas sebelum menjawab pertanyaan Ibu.
"Biyunge, tahun kiye kayane dewek ora bisa panen, parine entong, diserang wereng kabeh, wis tok semprot nganggo obat apa baen ora mempan, ngalamat puso kae lah, Inyong kudu nggolet kerja liyane, nggo mangan karo nggo bayar sekolahe Anto karo Sri, "ujarnya.
"Owalah Gusti, sing sabar ya Pak. Lagi dicoba, Inyong ya mengko bantu-bantu nggolet sripilan. Aja nganti Anto karo Sri sekolahe mandeg, bocah pinter banget koh, eman-eman," ujarnya.
Aku terhenyak. Tanpa harus berpikir keras aku tahu isi pembicaraan mereka. Padi di sawah Bapakku terserang wereng, salah satu hama padi terjahat, dan kini terancam gagal panen. Artinya, sumber pendapatan keluargaku terancam. Bapak harus pontang panting cari pekerjaan lain, Ibu juga, untuk membuat dapur tetap ngebul. Namun. yang membuat aku terharu adalah mereka ingin aku, juga Agus tetap bersekolah.
"Nto, ko sekolah sing duwur, nek perlu adol wedus karo sawah ora papa sing penting ko bisa sekolah nganti kuliah. Aja dadi wong sing ora tau mangan sekolahan kaya ramamu karo biyungmu," ujar Bapak memberikan wejangan pada suatu waktu.
Meski tak tergolong melarat, keluarga kita hidup pas-pasan mengandalkan hasil sawah setengah hektar  dan ternak kambing di belakang rumah. Secara pendidikan, mereka tak lulus sekolah dasar. Ini yang membuatku bangga, dengan latar belakang demikian, kedua orang tuaku sangat memperhatikan pendidikan sehingga aku pun sekuat tenaga berusaha untuk tak mengecewakan mereka. Aku bertekad agar aku terus sekolah untuki membalas jasa mereka.
"Aku harus kuliah di jurusan pertanian. Aku ingin membuat alat pemusnah wereng, aku ingin Bapak dan petani lainnya di desaku maju dan sejahtera," tekadnya.