Singkat kata, berkat ketekunan, perjuangan keras dan doa kedua orang tua, cita-cita Anto terkabul. Ia diterima di kampus yang ada di kota hujan itu. Berkat prestasi dan juga surat keterangan tidak mampu, Anto juga mendapatkan beasiswa. Untuk biaya hidup sehari-hari Anto jadi asisten dosen, nyambi jualan nasi uduk setiap pagi dari ke kost ke kost dan jadi aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Keluarga Masjid (DKM) Al Huriyah, juga Koperasi Mahasiswa. Pikiranya, biar banyak kegiatan, rapat dan tentunya akan ngirit uang jajan karena sudah ada nasi bungkus atau gorengan konsumsi rapat. Pendeknya, Anto sudah mandiri, Ia minta Bapak tak usah mengirimi biaya hidupnya.
Sebab kelewat sibuk, Anto tetap berprestasi, namun predikat cum laude lepas dari tangan. IPKnya cuma 3,05, tak percaya diri untuk melamar dosen atau mengejar beasiswa ke luar negeri tapi cukup sebagai persyaratan untuk melamar kerja kesana kemari. Anto pun akhirnya sama seperti lulusan lainnya, menanti dibukanya penerimaan CPNS atau memantau Koran Kompas Edisi Sabtu, memelototi pengumuman lowongan kerja satu per satu lalu membuat lamaran, mengirimkannya, test, interview kemudian menunggu jawaban : diterima atau ditolak.
Kini, di tanganya sudah ada surat yang menyatakan dirinya diterima bekerja. Pada sebuah tempat yang menarik pula : bank, dengan jabatan yang prestisius lagi. Sudah terbayang di kepalanya gaji besar dan karir cemerlang.
Namun, surat satunya lagi menyentaknya. Anto bimbang, Anto berubah menjadi Andi Lau, antara dilema dan galau.
Apa kabar cita-citanya membuat obat pemusnah wereng? Bagaimana dengan tujuanya kuliah untuk membantu Bapaknya dan petani di desanya untuk maju dan sejahtera?
Renunganya tiba-tba buyar
"Woi, kenapa loe ndes!? Muke loe kelihatanya kusut banget kaya tumpukan cucian belum di loundry?!," ujar Hendra, teman kost juga sahabatnya, membuka pintu kamar tanpa permisi, lalu nyerocos. Dia memang tak pernah memanggil namaku, selalu panggil 'Ndes' akronim dari 'Ndeso'. Â Saya tidak pernah tersinggung dengan panggilan itu, tak merasa di-bully apalagi di persekusi. Biasa, akrab, itu kenyataan dan tak ada yang salah dengan panggilan itu.
Anto menatap Hendra, masih terdiam. Hendra lalu merebut surat yang ada ditangan Anto dan membacanya.
"Anjrit lo Ndes, Ndes. Loe ketrima di MDP Bank Berdikari. Beruntung banget loe!," ujar Hendra antusias sambil menepuk punggung sahabatnya itu.
Namun, sejurus kemudian, dia merasa ada yang tidak beres.
"Oii, ketrima kerja di bank kece badai kok loe malah cemberut sih. Bersyukur loe, jangan kufur nikmat," ujar Hendra ceplas ceplos.