Dalam kerajaan itu, kala sepasang hati wafat, maka ruang persandingan mereka kala wafat, telah dipersiapkan. Dan salah satu yang masih hidup, akan selalu mengenang yang mati. Begitu juga kalian. Aku melihat dalam persahabatan ini, kebersamaan kalian membuatku harus menangis, jika mengetahui salah satu dari kalian mati. Â Mungkin kalian akan saling merasa kehilangan begitu sangat dalam."
Sehentak kami berdua terkaku, terperangah mendengarkan mas Hadi berkata seperti itu. Sudah dari pagi kami ceria, tertawa, bercanda, menikmati pemandangan wanita-wanita pantai, menenggak arak bali yang tersohor enak, dan tak jenuh melirik paha -- paha mulus wanita bule, tanpa mengingat kematian.
Tapi akhirnya kami sadar, dari sejarah yang telah diceritakan Mas Hadi, ia berusaha menggiring dan mengingatkan kami tentang sebuah kematian. Mas Hadi pria hebat. Seorang pria yang tidak akan pernah kami lupa tampang culunnya.
                      ***
Masih kuremas-remas pekat tanah itu. Rasanya ingin kumaki tanah itu agar segera mengembalikan ruh pada jasadnya. Biar saja kuajak Dimas memasuki kenang Malioboro, sebuah tempat yang pernah melukiskan wajahku. Basoeki---Sang Pelukis kaki lima, melukis wajahku.
Satu jam kami tertinggal waktu, sedang Basoeki harus meratakan kembali lukisan wajahku dengan kuasnya. Kuperhatikan peluh khawatir dari dahi Dimas. Beberapa kali ia bertanya pada Basoeki.
"Mas, sudah jadikah?" gusarnya.
Seusai Basoeki melukis wajahku, kami berjalan menghampiri kesunyian jalan Nogosari Kidul---Kraton Yogyakarta. Kami singgah di toko batik Tito Norto, pemiliknya bernama Retno.Â
Saat itu aku berbisik pada Dimas tentang kecantikkan Mba Retno, yang melebihi kecantikan artis pujaanku, Wanda Hamidah. Mendengar bisikanku, Dimas tertawa menggelitik. Begitu terbahaknya dia saat melihatku menggoda Mba Retno dengan rayuan-rayuan gombalku.
Kuharap Dimas masih mengingat kenang tentang Bu Tiwi---Dosen Laboratorium Akuntansi, di tempat kami kuliah. Dimas begitu menyukai senyumnya.Â
Mungkin, jika sekarang Bu Tiwi mengetahui bahwa Dimas menyukai senyumnya. Tak 'kan disangkal jika Bu Tiwi akan mewariskan senyum itu padaku. Aku harap ia dapat menepuk pundakku sambil berkata,"Akan kuwariskan senyumku padamu, Arya." Ya, walau hanya sekedar memberiku semangat untuk melupakan Dimas. Kuharap ia dapat membimbingku seperti dulu, saat ia selalu memperhatikan kami.