pluralisme dalam masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk atau plural society. Kemajemukan masyarakat Indonesia merupakan cerminan dari kondisi geografis dan sejarah bangsa yang unik. Kepulauan Nusantara yang membentang luas dari Sabang hingga Merauke telah menjadi rumah bagi ribuan pulau dan beragam suku bangsa menjadikan Indonesia memiliki budaya dan ciri khas yang berbeda di setiap daerahnya. Letak geografis Indonesia yang strategis antara dua samudera besar juga menjadikannya titik pertemuan berbagai pengaruh budaya asing, terutama dari India, Tiongkok, dan negara-negara Barat. Interaksi yang panjang dengan berbagai peradaban ini telah menyuburkan akar-akarSelain faktor geografis, sejarah panjang Indonesia juga turut membentuk kemajemukan masyarakatnya. Sejak abad-abad silam, Indonesia telah menjadi titik temu berbagai agama dan kepercayaan. Pengaruh Hindu dan Buddha dari India yang masuk sejak abad ke-4 Masehi telah membentuk fondasi keagamaan masyarakat Nusantara. Kemudian, masuknya Islam pada abad ke-7 Masehi dan Kristen pada masa kolonial semakin memperkaya khazanah keagamaan di Indonesia. Pluralitas agama ini tidak hanya tercermin dalam keberagaman keyakinan, tetapi juga dalam bentuk-bentuk ekspresi budaya yang beragam, seperti seni, arsitektur, dan tradisi.
Kemajemukan masyarakat Indonesia inilah yang menimbulkan paham multikulturalisme yang harus dipahami masyarakat Indonesia. Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Dalam konsep multikulturalisme Indonesia, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.
Sebagai bangsa yang multikultural, Indonesia memiliki berbagai tantangan dan ancaman yang dapat meruntuhkan persatuan bangsa. Salah satu ancaman serius adalah maraknya paham radikalisme dan ekstrimisme. Fenomena ini menjadi semakin mengkhawatirkan ketika menjalar kepada pelajar yang merupakan generasi penerus bangsa. Oleh karena itu upaya pencegahan harus dilakukan sejak dini melalui pendidikan dengan mengenalkan nilai nilai pluralisme.
Radikalisme sendiri adalah paham atau aliran yang ekstrem dalam beragama atau berpolitik. Sebenarnya paham ini tidak hanya berakar pada agama atau politik, tetapi juga pada pemahaman yang keliru tentang identitas, sejarah, dan keadilan. Radikalisme secara umum dapat dipahami sebagai suatu gerakan sosial yang mengarah pada hal-hal yang negatif. Â Penganut radikalisme cenderung memiliki sikap intoleransi yang tinggi terhadap perbedaan pendapat, keyakinan, dan gaya hidup. Mereka seringkali mengklaim memiliki kebenaran mutlak dan merasa berhak untuk memaksakan pandangan mereka kepada orang lain.
Ciri khas dari radikalisme adalah penggunaan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok radikal dapat berupa terorisme, sabotase, hingga pembunuhan massal. Studi-studi telah menunjukkan bahwa radikalisme seringkali dipicu oleh faktor-faktor seperti kemarahan, ketidakadilan, dan perasaan termarjinalkan. Selain itu, penyebaran propaganda melalui media sosial dan internet juga mempercepat radikalisasi individu dan kelompok.
Radikalisme bukan hanya ancaman terhadap keamanan dan stabilitas negara, tetapi juga merusak tatanan sosial serta hubungan antar individu. Akibat tindakan kekerasan yang sering dilakukan oleh kelompok radikal, banyak nyawa yang melayang. Selain itu, kerusakan infrastruktur penting seperti gedung pemerintah, tempat ibadah, dan fasilitas umum lainnya juga menjadi dampak langsung dari radikalisme. Secara ekonomi, radikalisme menimbulkan kerugian besar akibat penurunan investasi dan pariwisata.
Dampak paling merusak dari radikalisme adalah pada generasi muda. Paparan terhadap ideologi radikal dapat mempengaruhi pandangan mereka tentang dunia dan mengarahkan mereka pada tindakan kekerasan. Akibatnya, generasi muda yang seharusnya menjadi aset bangsa justru terjerumus dalam tindakan kriminal dan kehilangan masa depannya. Hal ini tentu saja akan menghambat pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing.
Berbanding terbalik dengan radikalisme yang memecah belah, pluralisme justru menjadi perekat bagi keberagaman. Paham ini mengajarkan kita untuk menghargai perbedaan dalam segala aspek kehidupan, mulai dari agama, suku, budaya, hingga pandangan politik. Dalam masyarakat pluralis, setiap individu dan kelompok memiliki ruang yang sama untuk berekspresi dan berpartisipasi.
Secara etimologi pluralisme dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan kata ta'addud, dalam bahasa Inggris pluralism. Pluralisme berarti banyak atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai 3 pengertian. Pertama; pengertian kegerejaan: 1. Sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan; 2. Memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan atau tidak kegerejaan. Kedua; pengertian filosofis; berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga; pengertian sosiopolitis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran, partai maupun agama dengan menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaaan dan karakteristiknya masing-masing.
Toleransi adalah kunci utama dalam pluralisme. Dengan saling toleransi, kita dapat hidup berdampingan secara damai meskipun memiliki perbedaan. Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, di mana keberagaman suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) begitu kaya, sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan menjadi hal yang mutlak. Toleransi tidak hanya sebatas mengakui keberadaan perbedaan, tetapi juga melibatkan upaya aktif untuk memahami, menerima, dan bahkan menghargai nilai-nilai yang berbeda. Dengan demikian, toleransi menjadi perekat sosial yang kuat, menyatukan masyarakat dalam keberagamannya.
Toleransi bukan hanya sebatas ucapan atau pernyataan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata sehari-hari. Toleransi berarti menghormati hak-hak setiap individu, terlepas dari latar belakangnya. Ini berarti memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang, menghindari diskriminasi, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Toleransi juga berarti ikut aktif dalam menjaga kerukunan dan mencegah terjadinya konflik.
Pluralisme mendorong kita untuk tidak hanya bertoleransi, tetapi juga aktif terlibat dalam dialog antar kelompok. Dialog yang terbuka dan jujur memungkinkan kita untuk saling berbagi perspektif, mengklarifikasi kesalahpahaman, dan menemukan titik temu. Melalui dialog, kita dapat membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang latar belakang budaya, agama, dan sosial masing-masing kelompok. Hal ini akan membantu mengurangi prasangka dan stereotipe negatif yang sering menjadi pemicu konflik.
Ketika pluralisme diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka akan tercipta masyarakat yang inklusif dan demokratis. Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik dan sosial. Pluralisme juga mendorong inovasi dan kreativitas karena adanya pertukaran ide dan perspektif yang beragam.
Salah satu pilar penting dalam mewujudkan masyarakat pluralis adalah melalui pendidikan. Pendidikan pluralisme mengajarkan siswa untuk menghargai perbedaan, baik itu perbedaan agama, suku, budaya, maupun pandangan. Kurikulum pendidikan yang inklusif dan berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan dapat menanamkan sikap toleransi, empati, dan saling menghormati sejak dini. Dengan demikian, sekolah menjadi ruang yang aman bagi siswa untuk belajar dan berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda latar belakang. Pendidikan pluralisme juga mendorong siswa untuk berpikir kritis, menganalisis informasi secara objektif, dan menolak segala bentuk diskriminasi. Melalui pendidikan, kita dapat mencetak generasi muda yang mampu hidup berdampingan secara damai dalam keberagaman.
Dalam dunia pendidikan tidak bisa terhindar dari fenomena fenomena kekerasan yang menjadikan tujuan pendidikan gagal dicapai. Generasi muda khususnya pelajar menjadi target yang sangat rentan terpapar paham paham seperti radikalisme. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat kenaikan radikalisasi di tengah masyarakat dalam kurun waktu hampir 10 tahun terakhir. BNPT tak mengungkap angka kenaikannya. Namun, berdasarkan data BNPT, kelompok remaja, anak-anak, dan perempuan menjadi target tertinggi dalam proses radikalisasi. Dalam rapat Komisi III DPR di Senayan, Kamis (27/06), Kepala BNPT Komjen Pol Rycko Amelza Dahniel mengungkapkan bahwa sejak 2016 telah dilakukan penelitian yang menunjukkan terjadinya peningkatan proses radikalisasi di kalangan remaja, anak-anak, dan perempuan.
 Peningkatan radikalisasi di kalangan remaja atau pelajar disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Masa remaja merupakan fase yang sangat krusial dalam perkembangan individu. Pada tahap ini, remaja tengah aktif membangun identitas diri, mencari jati diri, dan merumuskan pandangan hidup. Keingintahuan yang tinggi, keinginan untuk diterima dalam kelompok, serta perasaan ingin berbeda membuat remaja rentan terhadap berbagai pengaruh, termasuk ideologi ekstrem. Ideologi-ideologi ini seringkali menawarkan kepastian, identitas yang kuat, dan solusi sederhana atas permasalahan kompleks yang dihadapi remaja.
Kedua, Pemahaman agama yang belum mendalam dan cenderung literal pada pelajar dapat menjadi celah bagi kelompok radikal untuk menyebarkan interpretasi agama yang menyimpang. Ketika seseorang memahami agama secara kontekstual dan hanya berfokus pada teks-teks suci secara literal, tanpa mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan perkembangan zaman, maka mereka menjadi rentan terhadap penafsiran yang sempit dan ekstrem.
Kelompok radikal seringkali memanfaatkan celah ini dengan menyeleksi ayat-ayat tertentu dan menafsirkannya secara sepihak untuk mendukung agenda mereka. Mereka mengabaikan nilai-nilai toleransi, moderasi, dan kemanusiaan yang diajarkan oleh agama, dan justru mengagung-agungkan kekerasan dan kebencian. Didalam agama islam, banyak contoh ayat dalam alQur'an yang secara tekstualis berpotensi mengarah pada gerakan radikal yang seringkali diartikan secara sempit oleh beberapa orang sehingga menjadi dalil dari paham radikal, antara lain sebagai berikut.
Contoh pertama, perintah secara tekstual untuk memancung orang kafir apabila bertemu. Hal ini terdapat dalam Q.S Muhammad ayat 4 yang artinya "Maka, apabila kamu bertemu (di medan perang) dengan orang-orang yang kufur, tebaslah batang leher mereka. Selanjutnya, apabila kamu telah mengalahkan mereka, tawanlah mereka. Setelah itu, kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan. (Hal itu berlaku) sampai perang selesai. Demikianlah (hukum Allah tentang mereka). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menolong (kamu) dari mereka (tanpa perang). Akan tetapi, Dia hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. Orang-orang yang gugur di jalan Allah, Dia tidak menyia-nyiakan amal-amalnya.
Contoh kedua, perintah perang sampai tidak ada fitnah di muka bumi yang tertuang pada Q.S Al Baqarah ayat 193 yang berbunyi "Perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah dan agama (ketaatan) hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti (melakukan fitnah), tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zalim."
Contoh ketiga, perintah untuk memerangi orang-orang yang tidak beriman. "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan rasul-Nya, dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah) yang telah diberikan kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk." (Q.S. atTaubah [9]: 29). Contoh ketiga ayat tersebut secara tekstualis berpotensi melahirkan polapikir radikal yang berujung pada gerakan terorisme. Sebab, seakan-akan agama membenarkan untuk membunuh orang kafir dan membolehkan memerangi orang orang yang dianggap tidak beriman atau tidak beragama dengan benar.
Kurangnya pemahaman terhadap ilmu agama yang komprehensif membuat seseorang sulit untuk membedakan antara ajaran agama yang benar dengan ajaran yang menyimpang. Akibatnya, mereka mudah terpengaruh oleh propaganda radikal yang dikemas dengan bahasa yang sederhana dan menjanjikan pahala yang besar. Kelompok radikal seringkali memanfaatkan rasa takut dan ketidakpastian dalam diri seseorang untuk merekrut anggota baru. Mereka menawarkan solusi yang sederhana dan instan atas permasalahan kompleks yang dihadapi individu, sehingga menarik minat mereka yang sedang mencari tujuan hidup
Ketiga, Derasnya arus informasi di media sosial, baik yang benar maupun hoaks, telah menciptakan lingkungan yang sangat baik bagi penyebaran ideologi radikal di kalangan pelajar. Kemudahan akses terhadap internet dan berbagai platform media sosial membuat remaja saat ini terpapar berbagai jenis konten, termasuk konten-konten yang mengandung unsur radikalisme. Konten-konten radikal ini seringkali dikemas secara menarik dan mudah dipahami, sehingga dapat dengan mudah memengaruhi pikiran dan perasaan remaja yang sedang mencari jati diri.
Pelajar yang masih dalam tahap pembentukan karakter dan memiliki daya kritis yang belum matang, sangat rentan terhadap pengaruh konten-konten radikal. Mereka cenderung menerima informasi tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu, sehingga mudah terpengaruh oleh narasi-narasi yang menyederhanakan masalah dan menawarkan solusi instan. Paparan terus-menerus terhadap konten radikal dapat membentuk opini dan pandangan yang bias, bahkan ekstrem, pada pelajar.
Selain itu, algoritma pada media sosial yang dirancang untuk menyajikan konten yang relevan dengan minat pengguna juga turut memperparah masalah ini. Algoritma ini akan terus menyajikan konten-konten serupa dengan apa yang telah pernah dilihat oleh pengguna, sehingga menciptakan semacam "gelembung filter" yang mengisolasi pengguna dari informasi yang berbeda. Akibatnya, pelajar semakin sulit untuk terpapar pandangan yang berbeda dan cenderung terjebak dalam satu sudut pandang yang sempit.
Terakhir, lingkungan pergaulan memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam pembentukan karakter dan pandangan seseorang, termasuk pelajar. Pergaulan dengan teman sebaya yang memiliki pandangan radikal dapat menjadi pintu masuk bagi seorang pelajar untuk terpapar ideologi ekstrem. Tekanan kelompok sebaya seringkali membuat individu, terutama remaja, merasa perlu untuk menyesuaikan diri dan menerima pandangan kelompok agar diterima.
Teman sebaya yang radikal dapat memberikan justifikasi atas tindakan kekerasan, kebencian, dan intoleransi dengan mengatasnamakan agama atau ideologi tertentu. Mereka mungkin juga menyebarkan informasi yang salah atau menyesatkan tentang kelompok lain, sehingga menimbulkan prasangka dan kebencian. Dalam lingkungan seperti ini, pelajar yang awalnya memiliki pandangan moderat pun dapat terpengaruh dan menjadi semakin radikal.
Selain itu, kelompok radikal seringkali menawarkan rasa memiliki dan identitas yang kuat bagi anggotanya. Bagi remaja yang sedang mencari jati diri, hal ini sangat menarik. Kelompok radikal seringkali memanfaatkan kerentanan emosional remaja untuk merekrut anggota baru. Mereka menggunakan bahasa yang emosional, menjanjikan masa depan yang cerah, dan menciptakan suasana yang penuh semangat. Selain itu, mereka juga seringkali memutarbalikkan fakta dan menyebarkan informasi yang salah untuk membenarkan tindakan mereka.
Kelompok radikal juga menawarkan sensasi menjadi bagian dari sebuah komunitas yang solid dan memiliki tujuan bersama. Dalam komunitas ini, individu merasa terhubung dengan orang lain yang memiliki keyakinan yang sama. Mereka merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Hal ini memberikan rasa memiliki dan kepuasan yang sulit ditemukan di tempat lain.
Radikalisme bisa muncul dari berbagai elemen dalam pendidikan. Secara umum fenomena radikalisme dalam pendidikan lahir dari guru kepada siswa, dari siswa kepada guru dan juga dari orang tua/masyarakat kepada elemen elemen yang ada di dalam pendidikan. Menilik dari kejadian sebelumnya, banyak terjadi kasus kasus penyebaran paham radikalisme dan ektremisme di sekolah dari tingkat Taman kanak kanak sampai tingkatan Perguruan Tinggi. Berdasarkan catatan Harian Bali Post bahwa Selama tahun 2010-2014 tercatat gerakan kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan sebanyak 21.689.797 ( bali post 14 mei 2015). Bentuk bentuk kekerasan tersebut dialami oleh siswa ataupun guru.
 Contoh kasus mengenai penyebaran paham radikalisme contohnya tertera dalam artikel BBC. Dalam artikel tersebut menyatakan bahwa Ajaran kekerasan pernah ditemukan oleh organisasi sayap pemuda Nahdlatul Ulama, GP Ansor, yang menyebut beberapa jilid buku pelajaran siswa Taman Kanak-kanak (TK) mengajarkan radikalisme dan memuat kata-kata 'jihad', 'bantai', dan 'bom'. Dalam artikel yang sama disebutkan bahwa paham radikal telah masuk kedalam lingkungan sekolah menengah melalui guru. Misalnya pada kasus ada beberapa guru di sebuah sekolah elite di Jakarta Selatan menyisipkan paham radikal kepada muridnya pada saat mengajar. Cara cara oknum  guru dalam menyisipkan paham radikal ini dengan memutarkan video perang, atau dengan menjelaskan bahwa selain orang yang beragama sama dengan mereka adalah orang kafir yang harus diperangi.
Pendidikan merupakan benteng utama dalam mencegah penyebaran paham radikalisme. Sejak dini, anak-anak harus dibimbing untuk menghargai keberagaman yang ada di sekitar mereka. Menanamkan nilai-nilai pluralisme, seperti toleransi, saling menghormati, dan menghargai perbedaan, adalah langkah awal yang krusial. Dengan memahami dan menghayati nilai-nilai ini, generasi muda akan tumbuh menjadi individu yang terbuka, inklusif, dan mampu hidup berdampingan secara damai dengan siapa pun, tanpa memandang latar belakang agama, suku, atau pandangan politik. Pendidikan yang efektif akan membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan untuk berpikir kritis, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh propaganda yang menyesatkan.
Pendidikan agama dapat mengambil peran dalam mengajarkan nilai nilai pluralisme di sekolah. Untuk mencegah penyebaran paham-paham radikal, pendidikan agama harus diarahkan pada pembentukan pemahaman agama yang moderat, toleran, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Pemahaman agama yang moderat maksudnya adalah pemahaman agama yang terbuka pada perbedaan, tidak ekstrem dan tidak sempit. Pendidikan agama yang berkualitas akan menanamkan nilai-nilai kebersamaan, saling menghormati antarumat beragama, serta kesadaran akan pentingnya hidup berdampingan secara damai. Selain itu, pendidikan agama juga harus mengajarkan pentingnya berdialog dengan pemeluk agama lain, sehingga dapat tercipta saling pengertian dan menghormati.
Di era yang serba digital dengan kemudahan memperoleh informasi, keterampilan literasi digital menjadi hal yang sangat penting dalam upaya pencegahan penyebaran paham radikalisme di kalangan pelajar. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) menemukan 2.670 konten digital yang terindikasi menyebarkan propaganda radikalisme dan terorisme sepanjang 2023. Berdasarkan hal tersebut pelajar perlu dilatih untuk berpikir kritis dan selektif dalam menyaring informasi yang mereka dapatkan. Kemampuan untuk membedakan antara fakta dan opini, serta mengenali tanda-tanda berita bohong atau propaganda, akan sangat membantu mereka dalam menghindari pengaruh negatif, termasuk paham-paham radikal. Pelajar yang memiliki literasi digital yang baik akan lebih mampu mengambil keputusan yang bijak dan tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang tidak benar.
Selain itu, pembentukan karakter yang kuat akan membantu pelajar memiliki ketahanan diri terhadap pengaruh negatif. Dengan karakter yang kuat, pelajar akan memiliki pondasi yang kokoh untuk menghadapi berbagai tantangan, termasuk pengaruh negatif dari lingkungan sekitar. Ketahanan diri yang baik akan membantu mereka untuk berpikir kritis, membedakan mana yang benar dan salah, serta tidak mudah terpengaruh oleh propaganda radikal.
Sekolah, sebagai lembaga pendidikan, memiliki peran yang sangat krusial dalam membentuk karakter siswa. Lingkungan sekolah yang kondusif dan inklusif akan memberikan rasa aman dan nyaman bagi setiap siswa, sehingga mereka dapat belajar dan berkembang secara optimal. Sekolah harus menjadi tempat di mana setiap siswa merasa dihargai dan diterima apa adanya. Dengan menciptakan lingkungan yang beragam dan toleran, sekolah dapat mengajarkan siswa untuk menghargai perbedaan, baik itu perbedaan agama, suku, budaya, maupun pandangan. Pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan, seperti toleransi, empati, dan kerjasama, akan membantu siswa untuk membangun relasi sosial yang positif dan menolak segala bentuk diskriminasi.
Dengan menjadikan pendidikan sebagai benteng pertahanan pertama, kita dapat mencegah penyebaran paham-paham radikal yang dapat memecah belah masyarakat. Pendidikan yang berkualitas dan komprehensif akan membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan di masa depan, termasuk ancaman radikalisme. Selain itu, pendidikan juga dapat menjadi sarana untuk mempromosikan nilai-nilai kebangsaan dan memperkuat persatuan bangsa. pendidikan karakter juga memegang peranan yang sangat penting. Dengan menanamkan nilai-nilai moral dan etika sejak dini, kita dapat membentuk generasi muda yang berakhlak mulia dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap sesama. Pendidikan karakter akan membantu siswa untuk memahami pentingnya hidup berdampingan dengan perbedaan, sehingga mereka tidak mudah terpengaruh oleh propaganda yang mengatasnamakan agama atau ideologi tertentu.
Untuk mewujudkan tujuan menciptakan generasi muda yang kuat dan toleran, dibutuhkan kolaborasi yang erat dari berbagai pihak. Guru, sebagai ujung tombak pendidikan, berperan sentral dalam membentuk karakter siswa melalui contoh dan pengajaran nilai-nilai luhur. Orang tua juga memiliki peran krusial dalam mendampingi anak di rumah. Dukungan pemerintah dalam hal anggaran dan kebijakan pendidikan yang inklusif sangat diperlukan, terutama di daerah yang rentan terhadap radikalisme. Terakhir, peran masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang kondusif dan bebas dari diskriminasi sangat penting. Dengan sinergi yang solid, kita dapat membangun generasi muda yang cerdas, berkarakter, dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, sehingga Indonesia dapat menjadi negara yang aman, damai, dan sejahtera
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H