Mohon tunggu...
Roifatul Ummah
Roifatul Ummah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa akhir dengan mimpi besar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Radikalisme vs Pluralisme: Upaya Pendidikan dalam Mencegah Ekstremisme di Kalangan Pelajar

17 November 2024   09:21 Diperbarui: 17 November 2024   09:22 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar stop radikalisme (freepik)

Kurangnya pemahaman terhadap ilmu agama yang komprehensif membuat seseorang sulit untuk membedakan antara ajaran agama yang benar dengan ajaran yang menyimpang. Akibatnya, mereka mudah terpengaruh oleh propaganda radikal yang dikemas dengan bahasa yang sederhana dan menjanjikan pahala yang besar. Kelompok radikal seringkali memanfaatkan rasa takut dan ketidakpastian dalam diri seseorang untuk merekrut anggota baru. Mereka menawarkan solusi yang sederhana dan instan atas permasalahan kompleks yang dihadapi individu, sehingga menarik minat mereka yang sedang mencari tujuan hidup

Ketiga, Derasnya arus informasi di media sosial, baik yang benar maupun hoaks, telah menciptakan lingkungan yang sangat baik bagi penyebaran ideologi radikal di kalangan pelajar. Kemudahan akses terhadap internet dan berbagai platform media sosial membuat remaja saat ini terpapar berbagai jenis konten, termasuk konten-konten yang mengandung unsur radikalisme. Konten-konten radikal ini seringkali dikemas secara menarik dan mudah dipahami, sehingga dapat dengan mudah memengaruhi pikiran dan perasaan remaja yang sedang mencari jati diri.

Pelajar yang masih dalam tahap pembentukan karakter dan memiliki daya kritis yang belum matang, sangat rentan terhadap pengaruh konten-konten radikal. Mereka cenderung menerima informasi tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu, sehingga mudah terpengaruh oleh narasi-narasi yang menyederhanakan masalah dan menawarkan solusi instan. Paparan terus-menerus terhadap konten radikal dapat membentuk opini dan pandangan yang bias, bahkan ekstrem, pada pelajar.

Selain itu, algoritma pada media sosial yang dirancang untuk menyajikan konten yang relevan dengan minat pengguna juga turut memperparah masalah ini. Algoritma ini akan terus menyajikan konten-konten serupa dengan apa yang telah pernah dilihat oleh pengguna, sehingga menciptakan semacam "gelembung filter" yang mengisolasi pengguna dari informasi yang berbeda. Akibatnya, pelajar semakin sulit untuk terpapar pandangan yang berbeda dan cenderung terjebak dalam satu sudut pandang yang sempit.

Terakhir, lingkungan pergaulan memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam pembentukan karakter dan pandangan seseorang, termasuk pelajar. Pergaulan dengan teman sebaya yang memiliki pandangan radikal dapat menjadi pintu masuk bagi seorang pelajar untuk terpapar ideologi ekstrem. Tekanan kelompok sebaya seringkali membuat individu, terutama remaja, merasa perlu untuk menyesuaikan diri dan menerima pandangan kelompok agar diterima.

Teman sebaya yang radikal dapat memberikan justifikasi atas tindakan kekerasan, kebencian, dan intoleransi dengan mengatasnamakan agama atau ideologi tertentu. Mereka mungkin juga menyebarkan informasi yang salah atau menyesatkan tentang kelompok lain, sehingga menimbulkan prasangka dan kebencian. Dalam lingkungan seperti ini, pelajar yang awalnya memiliki pandangan moderat pun dapat terpengaruh dan menjadi semakin radikal.

Selain itu, kelompok radikal seringkali menawarkan rasa memiliki dan identitas yang kuat bagi anggotanya. Bagi remaja yang sedang mencari jati diri, hal ini sangat menarik. Kelompok radikal seringkali memanfaatkan kerentanan emosional remaja untuk merekrut anggota baru. Mereka menggunakan bahasa yang emosional, menjanjikan masa depan yang cerah, dan menciptakan suasana yang penuh semangat. Selain itu, mereka juga seringkali memutarbalikkan fakta dan menyebarkan informasi yang salah untuk membenarkan tindakan mereka.

Kelompok radikal juga menawarkan sensasi menjadi bagian dari sebuah komunitas yang solid dan memiliki tujuan bersama. Dalam komunitas ini, individu merasa terhubung dengan orang lain yang memiliki keyakinan yang sama. Mereka merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Hal ini memberikan rasa memiliki dan kepuasan yang sulit ditemukan di tempat lain.

Radikalisme bisa muncul dari berbagai elemen dalam pendidikan. Secara umum fenomena radikalisme dalam pendidikan lahir dari guru kepada siswa, dari siswa kepada guru dan juga dari orang tua/masyarakat kepada elemen elemen yang ada di dalam pendidikan. Menilik dari kejadian sebelumnya, banyak terjadi kasus kasus penyebaran paham radikalisme dan ektremisme di sekolah dari tingkat Taman kanak kanak sampai tingkatan Perguruan Tinggi. Berdasarkan catatan Harian Bali Post bahwa Selama tahun 2010-2014 tercatat gerakan kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan sebanyak 21.689.797 ( bali post 14 mei 2015). Bentuk bentuk kekerasan tersebut dialami oleh siswa ataupun guru.

 Contoh kasus mengenai penyebaran paham radikalisme contohnya tertera dalam artikel BBC. Dalam artikel tersebut menyatakan bahwa Ajaran kekerasan pernah ditemukan oleh organisasi sayap pemuda Nahdlatul Ulama, GP Ansor, yang menyebut beberapa jilid buku pelajaran siswa Taman Kanak-kanak (TK) mengajarkan radikalisme dan memuat kata-kata 'jihad', 'bantai', dan 'bom'. Dalam artikel yang sama disebutkan bahwa paham radikal telah masuk kedalam lingkungan sekolah menengah melalui guru. Misalnya pada kasus ada beberapa guru di sebuah sekolah elite di Jakarta Selatan menyisipkan paham radikal kepada muridnya pada saat mengajar. Cara cara oknum  guru dalam menyisipkan paham radikal ini dengan memutarkan video perang, atau dengan menjelaskan bahwa selain orang yang beragama sama dengan mereka adalah orang kafir yang harus diperangi.

Pendidikan merupakan benteng utama dalam mencegah penyebaran paham radikalisme. Sejak dini, anak-anak harus dibimbing untuk menghargai keberagaman yang ada di sekitar mereka. Menanamkan nilai-nilai pluralisme, seperti toleransi, saling menghormati, dan menghargai perbedaan, adalah langkah awal yang krusial. Dengan memahami dan menghayati nilai-nilai ini, generasi muda akan tumbuh menjadi individu yang terbuka, inklusif, dan mampu hidup berdampingan secara damai dengan siapa pun, tanpa memandang latar belakang agama, suku, atau pandangan politik. Pendidikan yang efektif akan membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan untuk berpikir kritis, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh propaganda yang menyesatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun