"Kamu capek mendengar ceritaku, Samanta?"
"Bukan itu maksudku, Et. I mean, at least you not always stuck at the same case!"
Anyway, apa nama desa itu. Apa kau bisa mengajakku berkunjung ke desa itu? Aku ingin merasakan suasana desa untuk melepaskan penat dari hiruk pikuk kota Jakarta yang melelahkan ini. Beritahu aku jika kamu akan baik-baik saja bekunjung ke desa itu tanpa harus mengingat Maheja. Rupanya permintaan ini begitu sulit bagimu. Ah, lupakan saja!
Maaf Samanta, aku hanya bisa merekomendasikan tempat itu tapi aku tak ingin kesana lagi. Kembali kesana hanya akan membuat Maheja semakin melekat di relungku bahkan hingga saat ini aku tak tahu bagaimana caranya melupakannnya.Â
Aku butuh satu saran terbaik agar tidak terjebak dalam situasi seperti ini lagi. Beritahu aku tips untuk melupakannya. Haruskah aku memakai kacamata agar mata ini tak ceroboh lagi? Semua berawal dari mata dan lalu ke hati. Semestinya stay, bukan malah di obrak-abrik. Â
"Tak ada yang perlu disalahkan. Cintamu saja yang kandas di tanjakan menuju desa di balik gunung terpencil."
TAMAT
#maaf jika ada kesamaan nama, ini hanyalah cerpen belaka#
Labuan Bajo, 9 Desember 2024
Getrudis Nduang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H