Mohon tunggu...
Getrudis Nduang
Getrudis Nduang Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis

Serius tapi becanda tapi serius.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Mata yang Ceroboh Membiarkan Orang Itu Masuk ke Hati

9 Desember 2024   20:35 Diperbarui: 12 Desember 2024   13:08 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ies:dokumen pribadi

Seberapa yakin kamu tidak pernah jatuh cinta pada pandangan pertama? Kan? Aku tak akan percaya kalimat-kalimat pembelaan diri yang engkau lontarkan itu demi menjaga kewibawaan pribadimu agar tidak dinilai mudah jatuh cinta kepada lawan jenis. Itu mustahil. Aku tau, engkau pernah tergila-gila dan kesurupan karena cinta. Ya, itu semua hal yang wajar. Walau kita pahami bahwa sejatinya cinta pada pandangan pertama merupakan ketertarikan semata yang dibumbui oleh nafsu. Ataukah engkau berpikir itu merupakan sebuah anugerah dari Tuhan yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu? Tidak sama sekali. Tidak. Kamu hanya terjebak dalam gejolakmu sendiri. Itu mutlak adanya. Apa kamu masih membantah, Et?

Sudahlah, kamu tak ingin bicara padaku. Akupun lelah bagaimana cara menyikapi dengan keadaanmu yang kacau-balau dibutakan oleh cinta. Kamu tahu, kamu itu hebat. Mandiri. Bisa mengatasi sebagian besar persoalan hidup yang darurat sekalipun. Kamu bijak. Mengapa hal konyol semacam ini membuatmu seakan sedang berada di padang gurun? Mengendarai seekor unta, kekeringan, panas, dan pepohonan tampak tak punya harapan karena kekurangan air. Lupakan! Kembalikan pikiran sehatmu, Et. Pikiranmu dirasuki oleh percikan cinta palsu. Ayolah, be Et as I know not in this way! Masih ingat lagunya,...

"It's probably me by Sting? Yeah, masih ingat."

Sahut Et,setelah sekian menit aku berkampanye tentang keadaannya yang terpuruk dikarenakan mabuk cinta pada pandangan pertama yang aku pastikan hanya dirinya yang merasakan itu.

"Stronger than you by Tim Montana!" Jawabku.

"Oh, pernah dengar. Tapi tidak hafal liriknya. Memang musiknya bikin mood booster."

"Oke. So! Sepertinya pikiranmu perlahan kembali ke jalan yang benar. Aku masih disini mendengarkan langkah terbaik kamu agar keluar dari zona yang menyesatkan itu."

Hm... jadi gini...

Sudah kuperingatkan diri ini untuk tidak jatuh cinta lagi setelah sekian kali tersakiti. Tapi entah kenapa mata ini selalu saja menemukan target baru untuk dipandang lalu mata mengijinkannya masuk ke hatiku, Samanta. Percayalah, aku tak memintanya. Dan aku tak tahu bagaimana caranya agar hal itu tidak terjadi. Jika saja, aku tahu segalanya mungkin jalan cerita hidupku tak akan seperti ini. Namun, kita berdua sama aja, kan? Kita sama-sama hanyalah manusia biasa yang sedang berjuang, kadang-kadang perjuangan kita seperti usaha menjaring angin. Bangkit dan coba lagi adalah jalan ninja kita. Selalu dipkasa kuat oleh keadaan.

Pada suatu waktu, semua berawal dari kunjungan  ke sebuah desa terpencil di balik gunung itu. Kala itu aku dan beberapa rekan kerja melakukan kunjungan dadakan ke desa yang unik ini. Untuk bisa ke desa ini kami perlu melewati beberapa perkampungan kecil, ada beberapa pulau yang masih asli, persawahan yang luas dan beberapa desa juga sekolah. Dan uniknya lagi di kampung ini tak ada listrik, Samanta. Tak ada internet, tak ada radio sekalipun. Apa kamu pernah ke daerah seperti ini di dalam hidupmu? Jujur saja. Sebagai bestfriend kita bicara dari hati ke hati. Jangan malu-malu.

Tak pernah kubayangkan, ketika pertengahan jalan pas ditanjakan berkabut tebal ada penampakan lelaki gagah, tegap, memakai ransel mini warna hitam. Kala itu dia mengenakan sweater cream, rambut kriting yang sedikit panjang diikatnya dan menumpuk dibalik tengkuknya. Aku terpana seketika. Dan seketika itu, dia balik badan melihat ke belakang. Dia hanya ingin memastikan ada berapa orang pendaki lainnya yang sedang bersama-sama menuju kampung di balik gunung itu. Seketika itu juga, aku terpikat melihat wajahnya yang begitu manis. Overall, he is my type, Samanta. Secara genetik aku merasa seperti melihat diri sendiri. Dia itu bagaikan kembaranku tapi beda rahim dan beda jenis kelamin. Apa kau pikir ini semua kedengarannya terlalu berlebihan karena aku sedang dihadang virus mabuk cinta? No! it's real, Samanta. It's real! Aku pastikan kamu sudah pernah bertemunya hanya dengan memandang wajahku. Dia sangat mirip denganku, Samanta. 

Aku dan rekan lainku berjalan lebih cepat, mendahului mereka. Dia sedang bersama dua gadis cantik yang tentu saja aku tak tahu siapa mereka. Hatiku berdetak kencang ketika dia mempersilakanku lewat dengan suara lembutnya, "silakan kak" sembari tersenyum. Dia sangat manis. Dua jam kemudian, kami tiba di lokasi. Sebelum masuk ke rumah para penghuni desa, salah seorang penduduk lokal yang mengikuti kami meminta salah satu dari antara kami memukul tiang semacam simbol ada orang baru yang masuk ke desa itu. Sebenarnya aku takut untuk melakukannya. Namun, moodku sudah terpengaruhi oleh senyum manis lelaki tak dikenal itu sehinga membuatku semangat. Akupun mengambil sebilah kayu yang sudah disiapkan dan memukul tiang itu tiga kali.

Kami lanjut ke perumahan warga. Disana kami disambut dengan ritual adat khusus kedatangan orang baru. Kamu tahu, dimanapun kamu pergi selalu ada yang namanya pertama kali kamu merasakan atau menyaksikan sesuatu yang belum pernah kamu temui sebelumnnya. Itulah pentingnya kita liburan ke tempat baru. Setelah ritual adat berlangsung di rumah tetua adat, kami pindah ke rumah lainnya. Di rumah inilah kami akan menghabiskan beberapa hari disana. Makan, minum dan menginap. 

Kami disuguhkan minuman selamat datang berupa kopi asli kampung itu beserta snack tambahan yaitu pisang goreng. Tiba-tiba lelaki pemilik senyum manis itu masuk dan duduk bersebelahan denganku. Rambut keritingnya dibiarkan terurai panjang dan dia begitu ramah ke semua orang dalam ruangan itu. Aku semakin deg-deg-an, Samanta. Aku benci pikirannku kala itu. Tapi aku tak bisa melawannya. 

Singkat cerita, kami saling bercerita berbagai topik random tanpa memperkenalkan nama. Waktu bergulir begitu cepat, tanpa terasa makan malam pun tiba. Kali ini kami duduk berhadapan, Samanta. Imajinasi liarku terlalu jauh membayangkan betapa indahnya hidup ini jika aku dan dia bisa jadian, hidup bersama layaknya pasangan lain yang begitu baik dalam mengayomi keluarga mereka. Argh... 

Stop! Jangan menghakimiku seperti itu!

Sudah kubilang aku tak meminta semua perasaan ini hadir, suasana hati mengalir begitu saja secara natural. Kamu hanya belum merasakan apa yang aku rasakan. Karena kamu terlalu sibuk dengan karirmu sampai lupa waktu untuk beriteraksi dengan orang lain. Kelak, mungkin kamu akan berada di posisiku saat ini.  

Waktunya kami menempuh arus balik. Seperti kebanyakan orang pada umumnya, foto-foto adalah satu-satunya cara terbaik untuk mengingat suatu kenangan yang indah. Dia menawarkan diri jadi fotografer. Aku dan rekanku jadi model. Dia yang mengarahkan kami untuk berganti gaya lalu membuat video singkat tentang desa unik itu. 

Jika aku adalah kamu. Apa hatimu akan tidur jika orang yang kau sukai menawarkan bantuan seperti yang sedang kau inginkan? Tentu saja tidak. Tidak, Samanta. Itulah aku. Hatiku menyala pagi itu. Cuaca dingin di desa tengah gunung apalah artinya bagiku. Aku panas membara. Berapi-api. 

Hasil jepretannya bagus. Dia cukup profesional untuk pemotretan. Mungkin saja dia seorang jasa fotographer alam.

"Maheja", sambil menyodorkan tangannya memperkenalkan diri.

"Et." Jawabku singkat. 

Entah kenapa, pada akhirnya kami tukaran nomor WhatsApp. Singkat cerita dan seiring berjalannya waktu, komunikasi kami lancar selama 10 bulan pertama. Aku udah menaruh seperempat hatiku padanya. Aku menyukainya. Serius. Sesekali dia datang menemuiku di tempat kerjaku dan membawakan makanan ringan. Di lain waktu, kami hang-out bersama. Sekedar nongkrong manis di cafe terdekat menikmati matahari terbebam sembari nge-beer.

Di bulan kesebelas, ada bom atom diantara kami. Tiba-tiba dia mengatakan bahwa kami tak mungkin bersama karena dia sudah ada yang punya. Tapi dia akan selalu ada waktu untuk-ku, jika aku ingin cerita dia akan siap mendengarkan dan memberikan solusi. Oh, aku tak suka caramu menatapaku melotot begitu.  I know, I am stupid about this kind of things. Salahuku dimana, Samanta? 

"Stupid! Salahmu terlalu cepat membuka hati tanpa..."

"Wait. Bolehkah saya lanjut?"

"Hm..."

Aku percaya bahwa cinta itu butuh perjuangan. Untuk mencapai hubungan yang langgeng, butuh waktu, komitmen dan kerja keras. Mungkin saja ini bagian dari godaan. Dia satu-satunya lelaki yang memintaku selalu berdo'a dan mendekatkan diri pada Tuhan. Apapun bentuk sakit hati dan persoalan hidup, jalur langit adalah solusinya yang ampuh. Apa kau pikir dia memberikan saran ini kepada setiap wanita? Well, sebenarnya aku tak peduli tentang itu. Yang aku pedulikan adalah dia satu-satunya yang memberikanku saran yang luar biasa itu. Komunikasi sehat dan kejujuran ada padanya termasuk tentang kejujuran atas hubungannya. 

Dengan penuh kesadaran diri, sepertinya aku harus mundur. Karena percuma saja mempertahankan komunikasi tapi tanpa arah.

"Bagaimana menurutmu, Samanta?"

"Kamu sudah selesai bicara?"

"Iya, I am done!"

Kamu terlalu cepat membuka hati kepada seseorang tanpa kamu ketahui dengan jelas latar belakangnya. Termasuk hubungannya gimana. Iya, tentu saja aku tidak memojokannmu dengan situasi ini tapi setidaknya kamu perlu kontrol dirimu. Seberapa sukanya kamu sama orang itu tetap jaga jarak, buat pertimbangan secara mendalam, dan alihkan pikiran untuk fokus saja pada kesenangan diri sendiri termasuk masa depan. Satu hal yang perlu kamu take a note, setiap lelaki yang kamu sukai akan membawa luka. Titik. Aku harap kedepannya aku tak mendengar cerita ini lagi, melainkan berita gembira. 

"Kamu capek mendengar ceritaku, Samanta?"

"Bukan itu maksudku, Et. I mean, at least you not always stuck at the same case!"

Anyway, apa nama desa itu. Apa kau bisa mengajakku berkunjung ke desa itu? Aku ingin merasakan suasana desa untuk melepaskan penat dari hiruk pikuk kota Jakarta yang melelahkan ini. Beritahu aku jika kamu akan baik-baik saja bekunjung ke desa itu tanpa harus mengingat Maheja. Rupanya permintaan ini begitu sulit bagimu. Ah, lupakan saja!

Maaf Samanta, aku hanya bisa merekomendasikan tempat itu tapi aku tak ingin kesana lagi. Kembali kesana hanya akan membuat Maheja semakin melekat di relungku bahkan hingga saat ini aku tak tahu bagaimana caranya melupakannnya. 

Aku butuh satu saran terbaik agar tidak terjebak dalam situasi seperti ini lagi. Beritahu aku tips untuk melupakannya. Haruskah aku memakai kacamata agar mata ini tak ceroboh lagi? Semua berawal dari mata dan lalu ke hati. Semestinya stay, bukan malah di obrak-abrik.  

"Tak ada yang perlu disalahkan. Cintamu saja yang kandas di tanjakan menuju desa di balik gunung terpencil."

TAMAT

#maaf jika ada kesamaan nama, ini hanyalah cerpen belaka#

Labuan Bajo, 9 Desember 2024

Getrudis Nduang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun