Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Saat Murid SMP Tidak Bisa Membaca, Guru SD Layak Disalahkan?

11 Agustus 2024   23:50 Diperbarui: 11 Agustus 2024   23:50 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tujuannya mungkin baik, agar murid tidak kena mental atau tidak DO, padahal akan semakin menyulitkan yang bersangkutan karena materi yang dipelajari pada jenjang yang lebih tinggi lebih sulit, sehingga mengakibatkan anak tersebut semakin sulit mengikuti proses pembelajaran.

Pada buku Solusi Kontekstual untuk Mengurangi Mengulang Kelas dan Putus Sekolah di Sekolah Dasar yang diterbitkan oleh Puslitjak Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud (2020) dinyatakan bahwa mengulang kelas diketahui memberi dampak jangka panjang yang negatif terhadap kehidupan anak. Kebijakan dan tindakan untuk tidak menaikan kelas ataupun menaikan kelas sebenarnya bagai memakan buah simalakama bagi kepala sekolah maupun guru.

Di satu sisi, tindakan untuk tidak menaikan kelas berpeluang dapat menurunkan semangat/ motivasi belajar siswa dan bahkan mengakibatkan putus sekolah. Di lain sisi, tindakan untuk menaikan kelas bagi siswa yang kemampuannya belum mencukupi untuk belajar di tingkat berikutnya, juga akan berakibat membebani guru untuk membimbing siswa di tingkat berikutnya.

Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menetapkan, setiap warga negara yang berusia 7 s.d 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (SD/sederajat dan SMP/sederajat). Ketetapan dalam UU tersebut sering dikaitkan dengan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun yang merupakan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun sebagai salah satu upaya pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan bagi generasi penerus bangsa. Dengan demikian, maka diartikan bahwa kebijakan mengulang kelas atau tinggal kelas dianggap bertentangan dengan aturan tersebut.

Wicaksono (2018) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan diantaranya, bahwa anak yang pernah tinggal kelas memiliki kecenderungan tidak melanjutkan pendidikannya. Alih-alih kebijakan tinggal kelas bertujuan mempersiapkan siswa supaya lebih baik dan lebih siap saat mengenyam pembelajaran di kelas selanjutnya, faktanya tidak ada data yang dapat menunjukan hal tersebut. Efek tinggal kelas justru memiliki dampak jangka panjang yang negatif terhadap peluang melanjutkan sekolah. Dalam konteks pembiayaan pendidikan, kebijakan mengulang atau tinggal kelas dinilai sebagai sebuah pemborosan anggaran.

Kondisi keluarga berpengaruh terhadap mengulang kelas dan putus sekolah. Musfiron (2007) dalam hasil penelitiannya menyampaikan bahwa kondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai membuat anak putus sekolah. Nurhidayat (2017) mengungkapkan beberapa hal yang memengaruhi mengulang kelas dan putus sekolah adalah (i) lemahnya motivasi orangtua, (ii) rendahnya pendidikan orangtua, iii) tingkat kemiskinan, (iv) rendahnya pelayanan keadilan bagi siswa, dan (v) lingkungan sekolah dan kelas yang tidak menyenangkan.

Berkaitan dengan masalah murid yang belum bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung), beberapa solusi bisa menjadi alternatif. Antara lain; 1) lakukan tes awal (formatif) / diagnostik terhadap murid kelas 1 (bukan jadi test syarat masuk SD). Tujuannya untuk mengetahui dan memetakan kemampuan awal calistung murid yang akan menjadi dasar bagi guru untuk menentukan strategi yang harus dilakukan dalam mengajarkan calistung kepada murid.

2) orang tua murid, khususnya yang anaknya ABK harus terbuka dan menyampaikan penjelasan kepada guru terkait kondisi anaknya. Orang tua tidak perlu merasa malu atau risih dengan kondisi tersebut. Informasi dari orang tua akan sangat berharga bagi guru dalam memberikan perlakuan yang tepat terhadap anak.
3) sekolah perlu bekerja sama dengan konselor, psikologi, atau ahli pendidikan untuk mengetahui kemampuan dan perkembangan setiap anak. 4) guru-guru perlu dibekali dengan kemampuan mengelola pembelajaran inklusif (untuk mengantisipasi ada ABK di kelas yang diampunya).

5) tingkatkan kemampuan guru dalam mengimplementasikan pembelajaran berdiferensiasi yang menguatkan literasi dan numerasi murid. 6) lengkapi sekolah dengan bahan bacaan yang bermutu dan mendukung penguatan literasi dan numerasi. 7) tingkatkan peran orang tua dalam membimbing anak belajar membaca di rumah, dan 8) perketat dan batasi penggunaan gawai terhadap anak.

Mengacu kepada kasus di atas, pendidikan di SD merupakan fondasi bagi peserta didik untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung. Peran guru tentunya sangat penting dan substansial, tetapi harus didukung dengan sistem dan infrastruktur pembelajaran yang baik agar guru SD tidak menjadi pihak tersangka yang dituding gagal dan berkinerja rendah saat ada murid SMP yang tidak bisa membaca, menulis, atau berhitung.

Walau demikian, sesuai dengan semangat pembelajaran yang berpusat pada murid, budaya reflektif juga perlu dikembangkan oleh guru. Pertanyaan yang bisa diajukan oleh guru SD, misalnya, apakah keberadaan saya di kelas diterima oleh murid? Apakah cara mengajar saya sesuai dengan karakteristik murid?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun