Di satu sisi, tindakan untuk tidak menaikan kelas berpeluang dapat menurunkan semangat/motivasi belajar siswa dan bahkan mengakibatkan putus sekolah. Di lain sisi, tindakan untuk menaikan kelas bagi siswa yang kemampuannya belum mencukupi untuk belajar di tingkat berikutnya, juga akan berakibat membebani guru untuk membimbing siswa di tingkat berikutnya.
Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menetapkan, setiap warga negara yang berusia 7 s.d 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (SD/sederajat dan SMP/sederajat). Ketetapan dalam UU tersebut sering dikaitkan dengan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun yang merupakan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun sebagai salah satu upaya pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan bagi generasi penerus bangsa. Dengan demikian, maka diartikan bahwa kebijakan mengulang kelas atau tinggal kelas dianggap bertentangan dengan aturan tersebut.
Wicaksono (2018) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan diantaranya, bahwa anak yang pernah tinggal kelas memiliki kecenderungan tidak melanjutkan pendidikannya. Alih-alih kebijakan tinggal kelas bertujuan mempersiapkan siswa supaya lebih baik dan lebih siap saat mengenyam pembelajaran di kelas selanjutnya, faktanya tidak ada data yang dapat menunjukan hal tersebut.Â
Efek tinggal kelas justru memiliki dampak jangka panjang yang negatif terhadap peluang melanjutkan sekolah. Dalam konteks pembiayaan pendidikan, kebijakan mengulang atau tinggal kelas dinilai sebagai sebuah pemborosan anggaran.
Kondisi keluarga berpengaruh terhadap mengulang kelas dan putus sekolah. Musfiron (2007) dalam hasil penelitiannya menyampaikan bahwa kondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai membuat anak putus sekolah.Â
Nurhidayat (2017) mengungkapkan beberapa hal yang memengaruhi mengulang kelas dan putus sekolah adalah (i) lemahnya motivasi orangtua, (ii) rendahnya pendidikan orangtua, iii) tingkat kemiskinan, (iv) rendahnya pelayanan keadilan bagi siswa, dan (v) lingkungan sekolah dan kelas yang tidak menyenangkan.
Berkaitan dengan masalah murid yang belum bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung), beberapa solusi bisa menjadi alternatif. Antara lain;Â
1) Lakukan tes awal (formatif)/diagnostik terhadap murid kelas 1 (bukan jadi test syarat masuk SD). Tujuannya untuk mengetahui dan memetakan kemampuan awal calistung murid yang akan menjadi dasar bagi guru untuk menentukan strategi yang harus dilakukan dalam mengajarkan calistung kepada murid.
2) Orangtua murid, khususnya yang anaknya ABK harus terbuka dan menyampaikan penjelasan kepada guru terkait kondisi anaknya. Orangtua tidak perlu merasa malu atau risih dengan kondisi tersebut. Informasi dari orangtua akan sangat berharga bagi guru dalam memberikan perlakuan yang tepat terhadap anak.
3) Sekolah perlu bekerja sama dengan konselor, psikologi, atau ahli pendidikan untuk mengetahui kemampuan dan perkembangan setiap anak.Â
4) Guru-guru perlu dibekali dengan kemampuan mengelola pembelajaran inklusif (untuk mengantisipasi ada ABK di kelas yang diampunya).