Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Multikultural untuk Mewujudkan Pelajar Pancasilais

27 Januari 2021   10:38 Diperbarui: 27 Januari 2021   11:11 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL UNTUK MEWUJUDKAN PELAJAR PANCASILAIS 

Oleh: IDRIS APANDI

(Penulis Buku Kajian Pancasila Kontemporer) 

 

Bangsa Indonesia didirikan atas dasar keberagaman. Berbagai unsur suku bangsa dan agama terlibat di dalamnya. Sebagai sebuah negara sangat luas, yaitu 1,905 juta km. Terbentang dari Sabang di wilayah barat Indonesia sampai dengan Merauke di wilayah timur Indonesia, dan memiliki lebih dari 17.000 pulau keberagaman adalah sebuah keniscayaan. Hal ini merupakan anugerah dari Tuhan YME yang patut disyukuri dengan cara merawat dan menjaga keberagaman tersebut.

Bukan hal mudah memelihara keberagaman pada sebuah negara semajemuk Indonesia. Cukup banyak contoh negara-negara di dunia pecah bahkan perang saudara karena tidak mampu menjaga keberagaman tesebut. Sebut saja Yugoslavia dan Uni Soviet yang pecah tahun 1991. Beberapa negara di Afrika dan Timur Tengah pun terpecah, bahkan terlibat perang saudara. Hal tersebut tentunya kita harapkan tidak terjadi di Indonesia. 

Walau demikian, berbagai tantangan disintegrasi bangsa dihadapi oleh Indonesia, seperti beberapa pemberontakan yang terjadi pada Orde Lama dan gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Tahun 1999 Indonesia kehilangan Timor-Timur setelah hasil referendum menunjukkan lebih banyak warga Timor-Timur (sekarang negara Timor Leste) yang memilih melepaskan diri dari NKRI.

Tantangan disintegrasi bangsa saat ini masih ada dan masih terjadi, seperti gerakan separatis di Papua, kelompok radikal Poso Sulawesi Tengah, isu-isu SARA, hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah. Hal ini sangat rawan menyulut perpecahan bangsa. Beberapa konflik berbau SARA pernah terjadi pascareformasi di beberapa daerah yang memakan banyak korban, tetapi akhirnya dapat diselesaikan secara damai.

Para pendiri negara memilih Pancasila sebagai ideologi bangsa karena sangat memahami keberagaman yang ada di Indonesia. Pancasila menjadi pemersatu bangsa dan sarana untuk merawat keberagaman bangsa ini. 

Para pendiri bangsa khususnya dari kalangan Islam dengan penuh sukarela menyetujui dihilangkannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta yaitu "... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" demi keutuhan NKRI. Walau Islam adalah agama mayoritas bangsa Indonesia, tetapi kelompok minoritas pun harus diakui, diakomodir, dan dilindungi. 

Dengan kelegowoan kelompok Islam tersebut, akhirnya Indonesia bisa memproklamirkan kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 dan menyepakati Pancasila sebagaimana dasar negara yang tercantum pada Alinea IV Pembukaan UUD 1945.

Pascareformasi, pemahaman dan pengamalan Pancasila di kalangan masyarakat mengalami penurunan. Jangankan memahami Pancasila, sila-sila Pancasila saja banyak yang tidak hafal. Pancasila seolah menjadi hal yang asing di tengah-tengah bangsa Indonesia. Pancasila terkesan kurang menarik untuk dipelajari dan disosialisasikan kepada masyarakat. Hal ini tidak lepas dari kebijakan penguasa Orde Baru yang menjadikan Pancasila sebagai propaganda dan indoktrinasi kepada masyarakat. Pancasila hanya sebagai simbol saja. Bukan sebagai nilai atau falsafah hidup yang perlu diinternalisasikan dalam setiap jiwa bangsa Indonesia.

Sebagai dampak dari kurang terinternalisasikannya Pancasila dalam kehidupan masyarakat berimbas kepada sikap dan perilaku masyarakat khususnya kalangan generasi muda yang semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila. Diakui atau tidak, Pancasila sebagai ideologi bangsa seolah terasing di tengah-tengah bangsanya sendiri.

Menyadari hal tersebut, maka Presiden Joko Widodo tahun 2017 membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKPPIP) yang kemudian melalui  Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 namanya diubah menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). BPIP mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan.

BPIP juga bertugas melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya.

Menindaklanjuti tersebut, maka Kemendikbud pun menggulirkan program Pelajar Pancasila(is). Tujuannya untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada para peserta didik. Jangan sampai mereka tidak tahu atau lupa bahwa Indonesia memiliki ideologi yang bernama Pancasila yang digunakan landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Karakter dari Pelajar Pancasila(is) antara lain; (1) Beriman dan Bertakwa kepada Tuhan YME dan Berakhlak Mulia, (2) Berkebhinekaan Global, (3) Bergotong Royong, (4) Mandiri, (5) Bernalar Kritis, dan (6) Kreatif. Karakter-karakter tersebut menurut saya masih bisa dikembangkan oleh guru atau oleh satuan pendidikan. Intinya, program tersebut bertujuan untuk semakin memperkuat pemahaman, penghayatan, dan pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut saya, salah satu upaya untuk mewujudkan pelajar Pancasilais yaitu melalui Pendidikan multikutural. Menurut Syafiq A. Mughni dalam Choirul Mahfud (2014 : viii) pendidikan multikultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman kultural, hak asasi manusia, serta pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka atau prejudice untuk membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju.

Menurut Azra (2002) dalam Suryana dan Rusdiana (2015:197) pendidikan multikultural sebagai pengganti dari pendidikan interkultural diharapkan dapat menumbuhkan sikap peduli dan mau mengerti atau adanya politik pengakuan terhadap kebudayaan kelompok manusia, seperti toleransi, perbedaan etnokultural, dan agama, diskriminasi, HAM, demokrasi, pluralitas, kemanusiaan universal, serja subjek-subjek lain yang relevan.

Musa Asyarie (2004) dalam Suryana dan Rusdiana (2015:197) berpendapat bahwa pendidikan multikultural bermakna sebagai proses pendidikan cara hidup menghormati, tulus, toleransi terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah peserta didik memiliki kekenyalan dan kelenturan mental dalam menyikapi konflik sosial di masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menekankan pada kesetaraan dan menghargai perbedaan.

Dalam konteks Indonesia, pendidikan multikultural perlu dilakukan dengan alasan: (1) berfungsi sebagai alternatif pemecahan konflik, (2) melalui pembelajaran berbasis mulrikultural, peserta didik diharapkan tidak tercerabut dari akar budayanya, dan (3) pendidikan multikultural relevan dengan Indonesia yang menganut paham demokrasi.

Pemberian pendidikan multikultural kepada peserta didik diarahkan agar mereka menyadari bahwa mereka hidup dalam masyarakat yang beragam suku, ras, adat, budaya, warna kulit, bahasa, dan agama. Sebagai bagian dari masyarakat, mereka harus mampu menerima perbedaan itu, saling menghormati, saling menghargai, hidup secara berdampingan, dan membangun sebuah harmoni sehingga keberagaman tersebut menjadi sebuah kekuatan yang sangat luar biasa untuk membangun bangsa.

Sekolah atau ruang kelas adalah sebuah masyarakat yang kecil (mini society). Institusi Pendidikan tersebut harus menjadi laboratorium demokrasi dan tempat menyemai benih-benih toleransi. Peserta didik dalam sebuah sekolah tentunya berasal dari beragam latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan agama. Nilai-nilai toleransi, kebersamaan dalam keberagaman perlu ditumbuhkan agar mereka benar-benar bisa menghayati kebhinekaan Indonesia. Masih adanya kasus tawuran, perundungan, dan kekerasan yang terjadi di sekolah menandakan bahwa pendidikan multikultural belum berjalan secara optimal.

Pendidikan multikultural pun sangat penting untuk menghadapi globalisasi. Arus globalisasi yang begitu dahsyat sulit untuk dibendung oleh setiap negara di dunia, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, melalui pendidikan multikultural, para peserta didik di satu sisi disiapkan untuk menghadapi era globalisasi dan di sisi lain untuk memperkuat jati dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang majemuk. Oleh karena itu, dalam konteks globalisasi, kebhinekaan yang perlu dibangun bukan hanya berlaku untuk berbagai suku, ras, etnis, dan agama yang ada di Indonesia saja, tetapi juga berlaku untuk semua suku, ras, etnis, dan agama yang ada di dunia, karena bangsa Indonesia adalah bagian dari masyarakat dunia.

Pendidikan multikultural di sekolah tidak perlu menjadi sebuah mata pelajaran khusus, tetapi bisa diintegrasikan kepada mata pelajaran yang telah ada, dilaksanakan melalui kegiatan pembiasaan, kegiatan ekstrakurikuler, dan berbagai kegiatan lainnya. Sekolah juga bisa menjalin kerjasama dengan komite sekolah atau masyarakat untuk menyelenggarakan beragai kegiatan untuk memperkuat semangat multikultural seperti kegiatan hari besar nasional, perayaan hari besar keagamaan, festival seni dan budaya, kegiatan olah raga, dan sebagainya.

Pendidikan multikultural merupakan bagian dari pendidikan karakter. Nilai-nilai yang ditanamkan antar lain; religiusitas, cinta tanah air, integritas, mandiri, gotong royong, kolaborasi, toleran, demokratis, adil, tidak diskriminatif, cinta lingkungan, cinta budaya sendiri, kreatif, peduli, berbagi, berjiwa solidaritas, berjiwa pemelajar, dan sebagainya.

Program pelajar pancasila(is) adalah sebuah ikhtiar untuk mewujudkan bangsa Indonesia menjadi warga negara yang baik sesuai dengan amanat pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Semoga hal ini bisa terwujud melalui implementasi pendidikan multikultural.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun