Setelah cukup lama teman saya dalami, NIDN ini agak susah di otak-atik. Di pertengahan tahun 2021, teman saya dinyatakan lolos seleksi sebagai dosen di salah satu universitas swasta di Jawa Tengah. Pihak kampus itu menghubungi teman saya melalui email. Karena tidak dibalas, langsung menghubunginya melalui WA.
“Silahkan mas, besok bisa ke kampus kami untuk menindaklanjuti penerimaan dosen ini.”
Agak ragu teman saya bilang, “mohon maaf, pak, tapi saya sudah punya NIDN”.
Cerita dulu sebentar ya, ini kampus membuka lowongannya sejak 2020, tapi karena terjadi pergantian pimpinan, proses seleksinya mandeg dan tau-tau hasilnya diumumkan tahun 2021.
“Wah, NIDN nya di kampus mana mas? Kalo sesama Jawa Tengah kami masih bisa menimbang-nimbang.”
“Home base saya diluar Jawa, pak.”
“Wah, itu susah mas, mohon maaf ya.”
“Tapi kampus nya sama-sama kampus ormas hijau kok, pak.”
“Ya, itu nggak ngaruh mas. Yang bikin proses perpindahan home base itu sulit karena perbedaan LLDiktinya. Ditambah biasanya sama kampus asal prosesnya diulur-ulur. Bisa lama itu mas, bisa bertahun-tahun. Padahal kami juga butuh NIDN nya untuk proses ini dan itu.”
Alhasil, teman saya pun gagal mendapatkan kesempatan emas itu. Dan sialnya, ini bukan kali pertama. Di akhir tahun 2020, teman saya juga pernah keterima sebagai dosen di salah satu kampus swasta bergengsi di Kota Bandung, Jawa Barat. Tapi karena NIDN nya sudah berhome base di tempat lain, si kampus dengan mantap menolak teman saya itu.
Jika sudah seperti ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan: