Nah karena pandemi inilah, beberapa usaha yang teman saya rintis bertahun-tahun dari tahun 2016 harus mengalami kesulitan. Dan pada akhirnya harus melambaikan bendera putih.
Mulailah teman saya mencari-cari pekerjaan. Dan karena teman saya sudah punya ijazah S2, teman saya mencari lowongan dosen. Dan kita tau sendiri hasilnya, lowongan apapun termasuk dosen di awal-awal pandemi, hilang entah kemana. Sementara itu teman saya membutuhkan beberapa biaya untuk menopang hidup.
Ada satu lowongan, sebuah kampus di Banten, tapi dalam proses rekrutmennya tidak transparan. Wajar juga, jika akhirnya akun instagram si kampus itu diserang oleh netizen dari calon-calon dosen. Hingga akhirnya, teman saya mendapatkan juga pekerjaan dosen dengan mudah di tempat yang sekarang dia tempati. Saking mudahnya, CV yang teman saya kirim melalui email itu sebetulnya CV yang dibuat asal-asalan. Tapi toh dapat juga. Walaupun lokasinya di luar Jawa, teman saya pikir itu tidak terlalu buruk. Namun ternyata perkiraannya salah.
- Kenapa diambil, padahal sudah tau gajinya kecil?
Dalam kontrak yang dikirim melalui WA, sebetulnya sudah jelas isi gajinya. Dan teman saya pikir itu angka yang kecil. Namun perlu diingat, dalam interview, itu dijelaskan bahwa akan ada tunjangan ini dan tunjangan itu, mulai dari transportasi, kelebihan sks, penelitian, dan lain-lain. Walaupun nyatanya memang tidak bohong, tapi itu cukup manipulatif, karena kenyataannya angka tunjangan itu sangat kecil sekali, dan itu tidak dijelaskan dalam interview.
Kita yang biasa kerja di sektor korporasi, saat mendengar tunjangan, itu angkanya bisa melebihi dari gaji pokoknya. Sehingga saat mendengar sekian deret tunjangan yang akan dikasih dalam jabatan dosen, pikiran teman saya melayang kemana-mana. Maklum, dia kan belum punya pengalaman sebagai dosen, wajar dong kalau dia berekspektasi tinggi, lulusan S2 lagi.
Ini mungkin yang harus di perjelas. Dalam interview, lebih baik sampaikan dulu pahitnya. Jika tunjangan nya kecil, lebih baik tidak usah disampaikan dalam interview. Cukup sebutkan angka gaji pokoknya saja.
Pun demikian dalam fasilitas, sampaikan pahitnya dulu. Hapus itu istilah hotel, apartemen, atau istilah keren lainnya, setidaknya selama interview. Cukup kasih tau kalau tempatnya mirip kamar kos dengan kamar mandi luar, dengan satu kamar berdua, air sering mampet, lingkungan tidak aman karena sering terjadi kasus pencurian, dan lain-lain. Dengan menyampaikan pahitnya, maka jika ada orang yang datang serius menjadi dosen, dia benar-benar siap dengan segala resikonya. Jangan sampai mendapatkan orang-orang yang baru datang, kemudian selang seminggu, si dosen baru itu sudah kabur duluan.
Kampusnya rugi? Jelas nggak. NIDN si dosen baru itu kan sudah tercatat berhome base di kampus tersebut. Lah si dosennya yang bodoh. Kabur dan apatis dengan NIDN nya. Si kampus kan nggak butuh dosennya, orang mahasiswanya saja sedikit. Ngapain datengin dosen banyak-banyak, kalo jumlah mahasiswa yang aktifnya bisa dihitung jari. Jelas, dosen-dosen baru yang lugu itu hanya dimanfaatkan saja, setidaknya NIDN nya untuk mendongkrak akreditasi. Bener apa bener?
- Terus sekarang gimana?
Nah, jika kita kerja di sektor yang lain, saat kita tidak betah, atau merasa dikhianati, hal paling logis yang bisa kita lakukan adalah dengan mengundurkan diri (jika pekerja tetap ya, tapi jangan lakukan pengunduran diri untuk kerja kontrak), kemudian cabut. Selesai.
Tapi masalahnya untuk dosen, ada satu ganjalan yang cukup menyakitkan. Yaitu NIDN.
Karena teman saya juga masih amatir sebagai dosen, teman saya itu baru mengetahui apa itu NIDN saat dia sudah menjadi dosen. Dia kira ngurus perpindahan nya akan mudah, ternyata itulah momoknya.