Aku menamainya bunga taman, hampir tiap sore kutemui sosoknya terpaku di tempat yang sama, di lingkaran taman. Di sebelah timur sudut taman ada monumen kecil dibuat tiga tahun lalu sebagai bentuk pernyataan bahwa tanah itu milik desa dan tidak bisa diganggu gugat keberadaannya, selain itu juga untuk mengingat kerusuhan penduduk sekitar dengan kontraktor dari kota yang ingin membangun supermarket di sini.Â
Sempat terjadi kericuhan dan demo yang berujung kerusuhan dengan memakan beberapa korban.Â
Mengapa di desa ini ingin dibangun supermarket? Letaknya yang strategis di jalur pantura yang begitu ramai menjadi iming-iming bisnis yang menggirukan masa depan.Â
Namun karena masyarakat tidak setuju karena akan membunuh perekonomian warga sekitar maka mereka melakukan demo, tuntutan pertama kedua tidak dihiraukan, kontraktor itu telah bekerja sama dengan pejabat desa bahkan tanah itu sudah dibangun pondasi sebagai tanda akan didirikannya bangunan. Masyarakat merasa murka, Â dengan segenap kekompakan mereka melakukan aksi demo dan menghancurkan pondasi itu. Lalu pejabat yang licik itu dipenjarakan. Â
Bekas tanah sengketa itu kemudian dibuat sebuah taman agar bisa memberikan kedamaian dan menghapus bekas kemuraman silam. Sebelah barat berjajar pohon-pohon palma yang tingginya baru 70 sentimeter. Sebuah lingkaran di tengah taman dikelilingi bunga melati. Lalu ada juga air mancur di sebelah lingkaran itu.
 Suatu sore di lingkaran taman dan dia, yang kusebut bunga taman  terduduk diam di tengahnya. Mungkin ini terlihat aneh, dia terus saja begitu lalu lima belas menit kemudian akan beranjak pergi. Aku belum pernah bertegur sapa dengannya namun tiap kali ke sana aku selalu menjumpai gadis itu dengan tingkah yang sama.Tatatapan sayunya mengatakan bahwa ada duka antara dia dengan melati-melati yang tak seorangpun tahu ada apa di baliknya.
Suatu ketika, di senja yang muram aku mendapatinya dengan tingkah yang tak sama, aku mendapatinya memegang sebuah buku dan bolpoin. Mungkin membuat puisi, pikirku.
Dia melihatku yang duduk di bangku sebelah utara lingkaran taman, cahaya matanya bersinar meski ada duka yang disimpan di sana. Aku baru mengamati gadis itu saksama, rambutnya tergerai sebahu dengan pita pink motif hello kitty, mata bulat dengan alis lebat, bibir mungilnya, hidung kecil namun mbangir dengan tahi lalat di bagian kiri dekat dengan matanya.
Sungguh cantik, namun sayangnya dia gadis cantik yang pemurung. Melihat dia diperhatikan seperti itu agaknya merasa terganggu, seketika itu dia beranjak dari tempatnya dan pergi. Aku mencoba menuju lingkaran itu, merasa penasaran ada apa sebenarnya?
Ketika memasuki tak ada hal aneh, namun mengapa gadis itu begitu aneh? Kuamati melati-melati yang mekar dengan semerbaknya yang khas. Aku menemukan ada gantungan kertas kecil yang diikat pada salah satu tangkai melati itu, kulihat ada tulisan 'adik'. Apa maksudnya? Aku berkeliling mencoba mencari kertas lain siapa tahu ada sebuah petunjuk di sana. Tapi ternyata nihil.
Aku memutuskan untuk pulang dengan membawa kertas kecil itu. tanda tanya berkecamuk dalam pikiran, mencari maksud dari kata tersebut dengan menghubungkan tingkah aneh si gadis yang tak kutahu namanya siapa.
Keesokan hari seperti biasa melewati taman karena kebetulan taman desa itu adalah jalan utama dari rumah untuk menuju jalan raya. Pagi itu aku menemukan kembali gadis itu, ini aneh sekali biasanya sore hari namun saat ini di pagi hari ia sudah berada di sana.
Aku mencoba menghampirinya pelan-pelan, lalu memegang pundak kecilnya. Ia agak kaget, terlihat pandang matanya mengerjap cepat dan dadanya sedikit terguncang, buku kecil yng dipegangnya sempat terjatuh namun dengan segera dipungutnya.
Aku mencoba menenangkan agar tidak takut dan mengajaknya duduk di bangku taman. Kali ini dia mengenakan blus mini warna biru muda, rambutnya masih saja tergerai dan pita kecil pink masih menempel di rambutnya. Ah, tahi lalatnya lucu dan wajahnya terlihat cantik mendapat pantulan sinar pagi. Kutakir usia gadis ini 11 tahun.
Aku mencoba mengawali obrolan namun tidak ada respon, matanya makin sayu namun tidak mengurangi kecantikannya.
"Lingkaran adalah gambaran dari perputaran hidup, melati adalah penghiasnya. Jika kadang kau jumpai ia mekar maka ia sedang bahagia, lalu kemudian akan layu dan gugur sejatinya ia sudah menemukan makna kehidupan dan kembali ke tempat yang semestinya" aku mencoba memancing perhatian. Â Aku mengisahkan ini sesuai cerita masa kecil yang didongengkan nenek, kebetulan nenek adalah penyuka bunga melati.
Benar saja, ia menatapku dan memperhatikanku.
Kisah kulanjutkan ...
"Kau tak bisa mengatakan bahwa melati adalah simbol duka, simbol kematian, dan simbol kesendirian. Ia adalah lambang cinta yang sejati, lihat saja, warna putihnya penuh dengan filosofi hidup yang jernih, tanpa noda, dan dengki."
Tiba-tiba ia menyahut,
"Memang benar, ia menyimpan rindu, rindu yang tak tersampaikan."
"Sebab apa kau mengatakan demikian?" Aku mencoba bertanya padanya.
Matanya semakin sayu dan ada bayang kaca dalam bola mata, dia menangis.
Sambil menyeka air mata ia menyodorkan buku kecil yang dipegangnya padaku. Kubuka tiap lembar, tertulis nama Lliliana sebagai pemilik buku. Ada coretan kisah sederhana di sana. Coretan kisah dari seorang anak kecil yang ditinggalkan adik kecilnya.Â
Tangisan gadis cilik yang memendam rindu pada teman bermainnya. Ada juga foto dengan gadis kecil berparas mirip sekali dengannya, mungkin itu adik yang dimaksud dalam kisahnya.
Setelah membaca buku kecilnya aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, ternyata ia tidak keberatan.
Ia berjalan di sisi kananku dengan berpegangan pada pergelangan tangan. Jarak antara taman dengan rumahnya ternyata cukup jauh, sekitar 15 menit jika berjalan kaki. Aku membayangkan bagaimana setiap hari ia pulang pergi ketika menuju taman. Jika bukan karena kesungguhan hati dan gadis kecil yang tangguh ia tidak akan menjalani itu.
Dia menunjuk rumahnya, sebuah rumah yang bercat biru tua yang hampi pudar warnanya, pelataran rumah yang gersang dan tidak ada tanaman apapun. Ia mengajakku masuk ke rumahnya. Sebuah rumah yang tidak terlalu luas, sedikit tidak terawat dengan perabotan yang terletak tidak semestinya. Seperti gelas yang dibiarkan tergeletak di lantai, sapu yang membujur di depan pintu, juga taplak meja yang hampir melorot jatuh.
Aku melihat ada kedukaan di rumah ini. Seorang ibu keluar dari dalam kamar dengan wajah sayu, ia mempersilakan duduk dan dengan terburu-terburu membereskan perabot yang kurang beraturan tadi.
Setelah itu menawariku ingin meminum apa, aku meminta air putih saja. Setelah menyuguhkan air putih dan beberapa camilan ia menyuruh putrinya untuk mandi, gadis kecil itu menuruti perintah ibunya. Setelah gadis itu menuju kamar mandi sang ibu bercerita tentang kebiasaan aneh putrinya mengapa tiap sore selalu menuju taman. Aku menanyakan tentang cerita dalam buku kecil putrinya dan foto seorang gadis cilik yang bersama Liliana.
"Dia masih belum bisa melupakan adiknya, Arina. Sebuah tragedi yang menimpa rumah tangga kami ternyata melahirkan luka juga padanya dan belum sembuh hingga saat ini."
"Ayahnya menceraikanku dua tahun lalu, sejak saat itu kami hidup berdua, entah dengan cara apa lagi aku menghilangkan kenangannya dengan Arina" sang ibu berbicara dengan suara yang serak.
Setelah bercerita banyak dan Liliana selesai mandi aku berpamitan untuk undur diri. Kucium gadis kecil itu dan mengajaknya bertemu setiap sore di taman. Dia memelukku dan menganggukkan kepala diiringi senyum manisnya.
Memang tanah sengketa itu dibuat taman sebagai penghilang kenangan suram, namun monumen kecil itu adalah tanda, bagaimana yang tidak bersalah menjadi korbannya. Seorang bapak yang tidak sengaja menggendong seorang putri dan menggandeng putri lain melewati kerumunan massa, karena itu hanya jalan satu-satunya menuju puskesmas mau tidak mau ia harus melewati jalan itu.Â
Dengan  terburu-buru menuju puskesmas untuk membesuk istrinya, ia menggendong putrinya dengan sangat erat dan satunya dipegang dengan sangat erat juga.Â
Namun  tidak sengaja ia mendapat pukulan hebat, putri yang digendongnya jatuh tersungkur dengan kepala terbentur aspal jalan. Ketika sang bapak terbangun ia bergegas meraih putrinya yang malang itu dan segera melarikannya menuju puskemas, namun malang tak dapat ditolak Tuhan lebih menyayanginya, otaknya mengalami pendarahan hebat yang menjadi perantara ia bertemu Tuhan.
Kemudian akibat rasa bersalah yang dirasa tidak bisa diampuni lagi ia menceraikan istrinya dan hidup dalan kesendirian dengan bayang-bayang peristiwa kematian putri bungsunya, Arina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H