Setelah bercerita banyak dan Liliana selesai mandi aku berpamitan untuk undur diri. Kucium gadis kecil itu dan mengajaknya bertemu setiap sore di taman. Dia memelukku dan menganggukkan kepala diiringi senyum manisnya.
Memang tanah sengketa itu dibuat taman sebagai penghilang kenangan suram, namun monumen kecil itu adalah tanda, bagaimana yang tidak bersalah menjadi korbannya. Seorang bapak yang tidak sengaja menggendong seorang putri dan menggandeng putri lain melewati kerumunan massa, karena itu hanya jalan satu-satunya menuju puskesmas mau tidak mau ia harus melewati jalan itu.Â
Dengan  terburu-buru menuju puskesmas untuk membesuk istrinya, ia menggendong putrinya dengan sangat erat dan satunya dipegang dengan sangat erat juga.Â
Namun  tidak sengaja ia mendapat pukulan hebat, putri yang digendongnya jatuh tersungkur dengan kepala terbentur aspal jalan. Ketika sang bapak terbangun ia bergegas meraih putrinya yang malang itu dan segera melarikannya menuju puskemas, namun malang tak dapat ditolak Tuhan lebih menyayanginya, otaknya mengalami pendarahan hebat yang menjadi perantara ia bertemu Tuhan.
Kemudian akibat rasa bersalah yang dirasa tidak bisa diampuni lagi ia menceraikan istrinya dan hidup dalan kesendirian dengan bayang-bayang peristiwa kematian putri bungsunya, Arina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H