Aku memutuskan untuk pulang dengan membawa kertas kecil itu. tanda tanya berkecamuk dalam pikiran, mencari maksud dari kata tersebut dengan menghubungkan tingkah aneh si gadis yang tak kutahu namanya siapa.
Keesokan hari seperti biasa melewati taman karena kebetulan taman desa itu adalah jalan utama dari rumah untuk menuju jalan raya. Pagi itu aku menemukan kembali gadis itu, ini aneh sekali biasanya sore hari namun saat ini di pagi hari ia sudah berada di sana.
Aku mencoba menghampirinya pelan-pelan, lalu memegang pundak kecilnya. Ia agak kaget, terlihat pandang matanya mengerjap cepat dan dadanya sedikit terguncang, buku kecil yng dipegangnya sempat terjatuh namun dengan segera dipungutnya.
Aku mencoba menenangkan agar tidak takut dan mengajaknya duduk di bangku taman. Kali ini dia mengenakan blus mini warna biru muda, rambutnya masih saja tergerai dan pita kecil pink masih menempel di rambutnya. Ah, tahi lalatnya lucu dan wajahnya terlihat cantik mendapat pantulan sinar pagi. Kutakir usia gadis ini 11 tahun.
Aku mencoba mengawali obrolan namun tidak ada respon, matanya makin sayu namun tidak mengurangi kecantikannya.
"Lingkaran adalah gambaran dari perputaran hidup, melati adalah penghiasnya. Jika kadang kau jumpai ia mekar maka ia sedang bahagia, lalu kemudian akan layu dan gugur sejatinya ia sudah menemukan makna kehidupan dan kembali ke tempat yang semestinya" aku mencoba memancing perhatian. Â Aku mengisahkan ini sesuai cerita masa kecil yang didongengkan nenek, kebetulan nenek adalah penyuka bunga melati.
Benar saja, ia menatapku dan memperhatikanku.
Kisah kulanjutkan ...
"Kau tak bisa mengatakan bahwa melati adalah simbol duka, simbol kematian, dan simbol kesendirian. Ia adalah lambang cinta yang sejati, lihat saja, warna putihnya penuh dengan filosofi hidup yang jernih, tanpa noda, dan dengki."
Tiba-tiba ia menyahut,
"Memang benar, ia menyimpan rindu, rindu yang tak tersampaikan."