"Sebab apa kau mengatakan demikian?" Aku mencoba bertanya padanya.
Matanya semakin sayu dan ada bayang kaca dalam bola mata, dia menangis.
Sambil menyeka air mata ia menyodorkan buku kecil yang dipegangnya padaku. Kubuka tiap lembar, tertulis nama Lliliana sebagai pemilik buku. Ada coretan kisah sederhana di sana. Coretan kisah dari seorang anak kecil yang ditinggalkan adik kecilnya.Â
Tangisan gadis cilik yang memendam rindu pada teman bermainnya. Ada juga foto dengan gadis kecil berparas mirip sekali dengannya, mungkin itu adik yang dimaksud dalam kisahnya.
Setelah membaca buku kecilnya aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, ternyata ia tidak keberatan.
Ia berjalan di sisi kananku dengan berpegangan pada pergelangan tangan. Jarak antara taman dengan rumahnya ternyata cukup jauh, sekitar 15 menit jika berjalan kaki. Aku membayangkan bagaimana setiap hari ia pulang pergi ketika menuju taman. Jika bukan karena kesungguhan hati dan gadis kecil yang tangguh ia tidak akan menjalani itu.
Dia menunjuk rumahnya, sebuah rumah yang bercat biru tua yang hampi pudar warnanya, pelataran rumah yang gersang dan tidak ada tanaman apapun. Ia mengajakku masuk ke rumahnya. Sebuah rumah yang tidak terlalu luas, sedikit tidak terawat dengan perabotan yang terletak tidak semestinya. Seperti gelas yang dibiarkan tergeletak di lantai, sapu yang membujur di depan pintu, juga taplak meja yang hampir melorot jatuh.
Aku melihat ada kedukaan di rumah ini. Seorang ibu keluar dari dalam kamar dengan wajah sayu, ia mempersilakan duduk dan dengan terburu-terburu membereskan perabot yang kurang beraturan tadi.
Setelah itu menawariku ingin meminum apa, aku meminta air putih saja. Setelah menyuguhkan air putih dan beberapa camilan ia menyuruh putrinya untuk mandi, gadis kecil itu menuruti perintah ibunya. Setelah gadis itu menuju kamar mandi sang ibu bercerita tentang kebiasaan aneh putrinya mengapa tiap sore selalu menuju taman. Aku menanyakan tentang cerita dalam buku kecil putrinya dan foto seorang gadis cilik yang bersama Liliana.
"Dia masih belum bisa melupakan adiknya, Arina. Sebuah tragedi yang menimpa rumah tangga kami ternyata melahirkan luka juga padanya dan belum sembuh hingga saat ini."
"Ayahnya menceraikanku dua tahun lalu, sejak saat itu kami hidup berdua, entah dengan cara apa lagi aku menghilangkan kenangannya dengan Arina" sang ibu berbicara dengan suara yang serak.