Mohon tunggu...
Ida Fitri
Ida Fitri Mohon Tunggu... -

Sebuah tulisan mampu menciptakan sejarah ...\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bara di Hati Mama

28 Agustus 2014   07:06 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:19 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Layani lelakimu selayak raja. Maka kau akan senantiasa dipuja. Ucapan nenekku seakan menjadi fatwa yang senantiasa kulaksanakan. Lima tahun sudah pernikahan kita. Nenekku benar, kau masih memujaku, mesti belum ada anak pelengkap cinta kita.

Tapi dunia serasa kiamat ketika suatu sore kau pulang dengan wajah itu. Wajah yang membuatku menangis darah.

“Aku mercintaimu, Laras.” Ucapmu dulu.

“Cinta, tidak seperti ini, Mas.”

Awan sesal menggumpal di wajahmu.

“Maafkan aku. Aku khilaf, hanya sekali.Tapi dia hamil.” ujarmu seraya bersujud di hadapanku.

Terlambat, Mas. Aku terlanjur membencimu.

“Baikalah, aku akan merawat anak itu.” Jawabku seraya meninggalkanmu. Sebuah rencana sudah tersusun jelas dalam otakku.

***

Jangan salahkan aku, dua puluh tiga tahun yang lalu kau tanam bara di hatiku Reinaldy. Kini aku hidup dalam kepura-puraan. Ikut permainan dalam dunia yang telah kau kukuhkan. Tapi camkan aku ini tokoh utama merangkap sutradara. Bisa kuubah cerita sesuka hatiku.

Yolanda Reinaidi, aku benci harus menjadi ibunya.

“Ma! Mas Gagah akan datang melamarku.” Kegembiraan terlihat dari kedua mata anak itu.

Apa? Dia akan menikah? Terus punya anak dan bahagia? Tidak! Ini tidak boleh terjadi lagi.

“Ma! Kok diam saja?”

“Kapan Gagah dan keluarganya datang?”

“Minggu depan, Ma. Sekarang Mas Gagah masih diluar kota.”

Hmm… Ini saatnya aku membalas untuk terakhir kali.

“Baiklah…. Mama akan siapkan segalanya.”

***

Rumah dihias indah. Banyak makanan terhidang di meja makan. Hari ini keluarga Gagah datang melamar Yolanda Reinaldi.

Sebuah fortuner hitam  dan CRV juga bercat gelap berhenti di depan rumah. Mereka datang dengan membawa  bermacam buah tangan.

“Maksud kedatangan kami kemari untuk melamar putri Bapak dan Ibu menjadi istrinya Gagah.”

Bapaknya buka suara.

“Alhamdulillah! Kami tak menyangka putri kami telah dewasa. Kami  tidak punya alasan untuk tidak setuju kan, Ma?”

Kau beri aku waktu untuk menjawab. Camkan! Kau akan menyesal Mas.

“Tidak! Aku tidak setuju.”

Semua mata memandangku tidak percaya, terutama kau, Mas.

“Kenapa, Ma?!” Tanyamu dengan penekanan.

“Yolanda Reinaldi tidak cocok menjadi menantu Bapak. Ia tidak sepadan dengan Gagah, putra Bapak.”

“Kenapa begitu, Bu?” Tanya Gagah bingung.

“Yolanda hanya anak haram bapaknya dengan wanita lain.” Ujarku tegas. Kukeluarkan setiap tetes darah yang saelama ini kusimpan.

Anak itu shosk terduduk di sofa. Kau membisu tak bisa berkata-kata. Keluarga Gagah pamit undur diri. Aku melenggang ke kamar.

***

“Ma! Buka pintunya.” Anak itu mengetuk pintu kamar.

“Apa lagi yang kau inginan, Yolanda?”  ujarku dari balik pintu.

“Aku ingin kejelasan, Ma.”

Tanganku meraih handel pintu. Wajah gadis belia itu bersimbbah air mata. Ada rasa iba menjalari hatiku. Tidak! Aku tidak boleh lemah. Ibunya, pelacur yang merengut kebahagiaanku.

“Masuklah!”

Anak itu duduk di kursi meja rias.

“Ma! Apa benar aku bukan anak Mama?” tanyanya terisak.

Aku mengangguk tanpa ekpresi. Kausemakin terisak.

“Lalu siapa mamaku?”

“Selingkuhan ayahmu.”

Kau terdiam sejenak seakan menyesali yang terjadi.

“Katakan Ma! Dimana dia sekarang, aku ingi bertemu.”

“Terkubur.”

“Maksud, Mama?”

Dua puluh tiga tahun lalu…. aku mengajak perempuan itu bertemu di taman nasional. Ia membawa bayinya.  Seperti sudah tidak makan selama dua hari ia melahap begitu saja makanan yang kubawakan. Tak berapa lama berselang, mulutnya berbusa matanya mendelik. Mati. Kuambil bayi perempuan di tangannya. Kucampakkan mayatnya ke jurang. Kupikir dia membusuk di sana.  Tak pernah diketahui orang. Tak ada penyidikan tentang mayat di jurang Taman Nasional Gunung Leuser.

“Mati! Aku memberinya racun.”

Kulihat kilat kemarahan di matanya. Aku tergidik ngeri. Tangannya meraih gunting yang berada di atas meja rias.

END

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun