“Tapi Tuhan jelas murka pada Iblis karena membangkang!”
“Aku hanya mempercayai apa yang menurutku benar kala itu. Saudara-saudaraku juga membangkang kala Allah mengabarkan penciptaan manusia. Mereka boleh protes, mengapa aku tidak?”
“Para malaikat tidak membangkang, mereka hanya bertanya.”
“Mereka mempertanyakan maksud Allah! Mereka pikir Allah tidak tahu bahwa manusia akan menumpahkan darah sesama? Mereka pikir Allah tidak tahu bahwa manusia akan berbuat kerusakan di bumi? Kau pikir dengan Allah berfirman, ‘Aku mengetahui apa yang kalian tidak ketahui’, itu berarti Allah ridho dengan pertanyaan mereka? Itu teguran keras, Mas Eko.”
Nikotin dalam aliran darah otakku mengalir deras. Kucoba membantah apa yang ia katakan, tapi aku kalah cepat.
“Sama seperti orang tuamu dulu waktu kau kecil. Dilarang main pisau! Bapak ibu lebih tahu bahayanya pisau untuk kulitmu. Kau harus patuh! Kalau kau tak patuh, orang tua pasti menghukum. Begitu kan, Mas Eko?”
“Ya mungkin saja. Tapi itu tak membuat Iblis berhak sombong dihadapan Tuhannya!”
“Hei, aku tak sedang berbicara kesombongan, Mas. Ini masalah keridhoan Allah saat melihat hamba-Nya mempertanyakan keputusan-Nya. Justru karena aku tak melihat Allah melarang malaikat menyampaikan pendapat, maka saat kudengar keputusan Allah yang bisa membuat timbulnya kesyirikan dalam hatiku, saat itulah aku mempertanyakan-Nya.”
“Abaa wastakbaro…”
“Yaa yaa yaa… itulah enaknya malaikat. Tidak diberi hati tempat bermukim perasaan. Aku diberkahi Allah untuk memendam perasaan. Jujur saja kuakui, ada rasa iriku saat Allah memutuskan manusia yang menjadi wakil-Nya di bumi. Maklum lah, senior mana yang mau dilangkahi promosi oleh juniornya. Merasa enggan dan merasa lebih agung, aku masih muda kala itu.”
“Sebegitu julidnya kau, Pak Iblis, sampai-sampai kau akali Nabi Adam dan Siti Hawa hingga diusir dari surga.”