Thukul adalah suara bagi mereka yang tertindas di bawah kekuasaan yang memiskinkan mereka. Ia tahu dan sadar bahwa karya sastra dapat membuat cemas pemerintah saat diundang dan membacakan pisi perayaan kemerdekaan 17 Agustus 1982. Puisinya sederhana, berjudul "Kemerdekaan". Isinya adalah : "Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tai."
Sejak saat itu, ia sudah mengalami represi. Namun, Thukul tetap meneruskan perlawanannya. Beberapa tahun kemudian, ia bergerak melawan pemerintahan Orde Baru melalui jalur kesenian rakyat. Namun, setelah kejadian itu ia termasuk dalam daftar perburuan pemerintahan Orde Baru.
Rumah keluarganya didatangi oleh kepolisian. Seisi rumah diobrak-abrik dan dirampas pemerintah. Thukul pun harus sembunyi-sembunyi untuk menemui keluarganya.
Pada kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, Thukul tidak ditemukan lagi. Ia termasuk korban penghilangan paksa oleh rezim Soeharto. Dan hingga saat ini puluhan tahun sejak kejadian itu, Thukul masih belum ditemukan.
Mungkin akhir dari perlawanan Wiji Thukul tak berbuah manis seperti Kahlil, dimana ia mendapati Lebanon sebagai suatu negeri yang damai, adil, dan tanpa penindasan. Tapi kita harus melanjutkan perlawanannya, karena sekecil apapun suatu pergerakan, mestilah melahirkan perubahan di dalam sejarah dan di tengah masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H