Sebelum pembantaian dimulai, Kahlil menyampaikan pidato untuk menyadarkan semua masyarakat untuk bersuara atas ketidakadilan yang menimpa mereka. Bahwa mereka bisa hidup jauh lebih baik dan bukan memebrikan hasil keringatnya kepada orang kaya dan pendeta.
Kisah ini diakhiri dengan membisunya pemuka agama atas pidato Kahlil. Dan masyarakat mulai menyadari ketidakadilan dan berusaha untuk melepaskan diri darinya. Kahlil pun hidup di tengah masyarakat tersebut dan menjadi panutan bagi mereka.
Wiji Thukul : Kahlil di IndonesiaÂ
Pemberontakan adalah awal dari perubahan. Pemberontakan oleh orang-orang yang tertindas akan melahirkan hal baru dalam sejarah. Seperti apa yang dilakukan Kahlil, tokoh fiksi dalam Sang Pemberontak, ia berusaha agar masyarakat yang menerima ketidakadilan atas nama agama dan kekuasaan menjadi masyarakat yang bisa hidup damai dan menerima hak-hak mereka. Dengan menyadari dan meninggalkan segala kungkungan dan peraturan yang dibuat oleh penguasa.
Begitu pula di Indonesia. "Sang Pemberontak" di Indonesia juga melahirkan sejarah baru bagi kehidupan di tanah air. dan pemberontakan itupun berbagai macam bentuknya. Wiji Thukul, melalui penanya, ia menuliskan sajak perlawanan. Salah satunya adalah yang berjudul Sajak Suara ini :
Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
Di sana bersemayam kemerdekaan
Apabila kau memaksa diam
Aku siapkan untukmu : pemberontakan!
Wiji Thukul adalah satu dari sekian banyak masyarakat yang mengalami kemiskinan. Buktinya ia sebagai anak sulung hanya mengenyam pendidikan sebatas Sekolah Menengah Karawitan Indonesia Jurusan Tari. Karena biaya sekolah ia berikan kepada adik-adiknya. Ia pun menjadi calo di bioskop dan terkadang menjual mainan anak-anak di acara-acara seperti Sekaten, Malam Sriwedari, dan Bulan Ramadhan.
Karena kondisi sosial-ekonomi Wiji Thukul yang seperti itu, maka ia bisa menghasilkan karya yang amat epik. Campuran antara pemberontakan dan keberanian. Ia mewakili masyarakat bawah yang suaranya hanya dibutuhkan saat perayaan pemilu saja.