Mohon tunggu...
Icha Tri Hasri
Icha Tri Hasri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab

Pembaca Sastra

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kahlil, Wiji Thukul dan Sang Pemberontak di Indonesia

26 Juni 2020   14:36 Diperbarui: 26 Juni 2020   14:41 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Kejahatan tidak akan hilang di muka bumi sebelum akal setiap lelaki menjadi raja dan hati setiap perempuan menjadi pendeta. Sang Amir mencengkeram petani miskin, sedang Sang Pendeta mengulurkan tangannya ke kantong petani. Para hakim memandang dengan muka cemberut pada anak-anak sawah. Pembesar-pembesar agama melengos dengan tersenyum".

Kalimat di atas adalah kalimat yang paling banyak dikutip dari novel Sang Pemberontak karya Kahlil Gibran. Kahlil Gibran adalah sastrawan beraliran romantisisme asal lebanon yang lahir tahun 1983 di tengah keluarga Kristen Maronit. Pada usia 12 ia pindah ke Boston, Amerika dan sempat pulang ke Lebanon untuk belajar namun akhirnya kembali lagi ke Amerika dan menetap di New York.

Sang Pemberontak mengisahkan tentang Kahlil, pemuda yang sejak kecil tumbuh besar di lingkungan rumah suci (tempat peribadatan). Ia diasuh oleh pendeta semenjak ayah dan ibunya meninggal. 

Setelah ia dewasa ia pun akhirnya diangkat menjadi pendeta dan berjanji akan mengabdikan dirinya sebagai hamba yang miskin dan tidak akan tergoda dengan gemerlap duniawi. Menajdi seorang yang mengabdikan jiwanya pada kebajikan dan mengabaikan segala bentuk nafsu dunia. 

Memang sejatinya pendeta mestilah mengabdikan hidupnya untuk kemaslahatan orang banyak dan membela yang miskin dari si kaya, yang benar dari yang salah. 

Setidaknya hal inilah yang Kahlil yakini hingga ia melihat segala sesuatu berbanding terbalik dengan apa yang ada di pikirannya dan apa yang ada di kitab suci.

Para pendeta lain hanya mementingkan dirinya sendiri. Mengambil segala jerih payah orang miskin untuk hidup mewah dan bersenang-senang. Apa yang diberlakukan para pendeta pun mengatasnamakan agama walau hal itu jelas sekali bertentangan dengan landasan dasar agama sesungguhnya. Maka Kahlil merasa bahwa pendeta tidak mengindahkan tugasnya dengan mendahulukan kemaslahatan masyarakat.

Dari sini Kahlil sudah merasa gelisah. Ia pun mengutarakan kegelisahannya kepada para pendeta lain namun yang ia dapatkan hanyalah cibiran dan ia dikatakan sebagai "si kufur". Ia tidak menyerah dan terus berbicara kepada para pendeta dan akhirnya ia dipenjara selama satu bulan.

Ketika ia keluar dari penjara, Kahlil masih terus berbicara hingga ia akhirnya di usir dari rumah suci. Maka, berjalanlah Kahlil seorang diri di tengah badai salju dan terkapar tak berdaya hingga kahirnya ada orang yang menolongnya.

Mereka adalah Rachel dan Miriam. Ibu dan anak ini membantu Kahlil dalam dinginnya salju dan merawatnya hingga ia sembuh. Selama tinggal di rumah mereka, Kahlil dan Miriam saling jatuh cinta.

Dengan cinta kasih yang ada di dalam dirinya untuk memberontak segala kejahatan yang dilindungi kekuasaan di Lebanon, Kahlil pun mulai memberontak. Saat pemuka lingkungan itu tahu bahwa ada orang yang terusir dari rumah suci karena tabiat buruknya, mereka langsung menangkap Kahlil. Penangkapan dan penyiksaan itupun disaksikan oleh seluruh masyarakat.

Sebelum pembantaian dimulai, Kahlil menyampaikan pidato untuk menyadarkan semua masyarakat untuk bersuara atas ketidakadilan yang menimpa mereka. Bahwa mereka bisa hidup jauh lebih baik dan bukan memebrikan hasil keringatnya kepada orang kaya dan pendeta.

Kisah ini diakhiri dengan membisunya pemuka agama atas pidato Kahlil. Dan masyarakat mulai menyadari ketidakadilan dan berusaha untuk melepaskan diri darinya. Kahlil pun hidup di tengah masyarakat tersebut dan menjadi panutan bagi mereka.

Wiji Thukul : Kahlil di Indonesia 

Pemberontakan adalah awal dari perubahan. Pemberontakan oleh orang-orang yang tertindas akan melahirkan hal baru dalam sejarah. Seperti apa yang dilakukan Kahlil, tokoh fiksi dalam Sang Pemberontak, ia berusaha agar masyarakat yang menerima ketidakadilan atas nama agama dan kekuasaan menjadi masyarakat yang bisa hidup damai dan menerima hak-hak mereka. Dengan menyadari dan meninggalkan segala kungkungan dan peraturan yang dibuat oleh penguasa.

Begitu pula di Indonesia. "Sang Pemberontak" di Indonesia juga melahirkan sejarah baru bagi kehidupan di tanah air. dan pemberontakan itupun berbagai macam bentuknya. Wiji Thukul, melalui penanya, ia menuliskan sajak perlawanan. Salah satunya adalah yang berjudul Sajak Suara ini :

Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan

Di sana bersemayam kemerdekaan

Apabila kau memaksa diam

Aku siapkan untukmu : pemberontakan!

Wiji Thukul adalah satu dari sekian banyak masyarakat yang mengalami kemiskinan. Buktinya ia sebagai anak sulung hanya mengenyam pendidikan sebatas Sekolah Menengah Karawitan Indonesia Jurusan Tari. Karena biaya sekolah ia berikan kepada adik-adiknya. Ia pun menjadi calo di bioskop dan terkadang menjual mainan anak-anak di acara-acara seperti Sekaten, Malam Sriwedari, dan Bulan Ramadhan.

Karena kondisi sosial-ekonomi Wiji Thukul yang seperti itu, maka ia bisa menghasilkan karya yang amat epik. Campuran antara pemberontakan dan keberanian. Ia mewakili masyarakat bawah yang suaranya hanya dibutuhkan saat perayaan pemilu saja.

Thukul adalah suara bagi mereka yang tertindas di bawah kekuasaan yang memiskinkan mereka. Ia tahu dan sadar bahwa karya sastra dapat membuat cemas pemerintah saat diundang dan membacakan pisi perayaan kemerdekaan 17 Agustus 1982. Puisinya sederhana, berjudul "Kemerdekaan". Isinya adalah : "Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tai."

Sejak saat itu, ia sudah mengalami represi. Namun, Thukul tetap meneruskan perlawanannya. Beberapa tahun kemudian, ia bergerak melawan pemerintahan Orde Baru melalui jalur kesenian rakyat. Namun, setelah kejadian itu ia termasuk dalam daftar perburuan pemerintahan Orde Baru.

Rumah keluarganya didatangi oleh kepolisian. Seisi rumah diobrak-abrik dan dirampas pemerintah. Thukul pun harus sembunyi-sembunyi untuk menemui keluarganya.

Pada kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, Thukul tidak ditemukan lagi. Ia termasuk korban penghilangan paksa oleh rezim Soeharto. Dan hingga saat ini puluhan tahun sejak kejadian itu, Thukul masih belum ditemukan.

Mungkin akhir dari perlawanan Wiji Thukul tak berbuah manis seperti Kahlil, dimana ia mendapati Lebanon sebagai suatu negeri yang damai, adil, dan tanpa penindasan. Tapi kita harus melanjutkan perlawanannya, karena sekecil apapun suatu pergerakan, mestilah melahirkan perubahan di dalam sejarah dan di tengah masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun