"Kejahatan tidak akan hilang di muka bumi sebelum akal setiap lelaki menjadi raja dan hati setiap perempuan menjadi pendeta. Sang Amir mencengkeram petani miskin, sedang Sang Pendeta mengulurkan tangannya ke kantong petani. Para hakim memandang dengan muka cemberut pada anak-anak sawah. Pembesar-pembesar agama melengos dengan tersenyum".
Kalimat di atas adalah kalimat yang paling banyak dikutip dari novel Sang Pemberontak karya Kahlil Gibran. Kahlil Gibran adalah sastrawan beraliran romantisisme asal lebanon yang lahir tahun 1983 di tengah keluarga Kristen Maronit. Pada usia 12 ia pindah ke Boston, Amerika dan sempat pulang ke Lebanon untuk belajar namun akhirnya kembali lagi ke Amerika dan menetap di New York.
Sang Pemberontak mengisahkan tentang Kahlil, pemuda yang sejak kecil tumbuh besar di lingkungan rumah suci (tempat peribadatan). Ia diasuh oleh pendeta semenjak ayah dan ibunya meninggal.Â
Setelah ia dewasa ia pun akhirnya diangkat menjadi pendeta dan berjanji akan mengabdikan dirinya sebagai hamba yang miskin dan tidak akan tergoda dengan gemerlap duniawi. Menajdi seorang yang mengabdikan jiwanya pada kebajikan dan mengabaikan segala bentuk nafsu dunia.Â
Memang sejatinya pendeta mestilah mengabdikan hidupnya untuk kemaslahatan orang banyak dan membela yang miskin dari si kaya, yang benar dari yang salah.Â
Setidaknya hal inilah yang Kahlil yakini hingga ia melihat segala sesuatu berbanding terbalik dengan apa yang ada di pikirannya dan apa yang ada di kitab suci.
Para pendeta lain hanya mementingkan dirinya sendiri. Mengambil segala jerih payah orang miskin untuk hidup mewah dan bersenang-senang. Apa yang diberlakukan para pendeta pun mengatasnamakan agama walau hal itu jelas sekali bertentangan dengan landasan dasar agama sesungguhnya. Maka Kahlil merasa bahwa pendeta tidak mengindahkan tugasnya dengan mendahulukan kemaslahatan masyarakat.
Dari sini Kahlil sudah merasa gelisah. Ia pun mengutarakan kegelisahannya kepada para pendeta lain namun yang ia dapatkan hanyalah cibiran dan ia dikatakan sebagai "si kufur". Ia tidak menyerah dan terus berbicara kepada para pendeta dan akhirnya ia dipenjara selama satu bulan.
Ketika ia keluar dari penjara, Kahlil masih terus berbicara hingga ia akhirnya di usir dari rumah suci. Maka, berjalanlah Kahlil seorang diri di tengah badai salju dan terkapar tak berdaya hingga kahirnya ada orang yang menolongnya.
Mereka adalah Rachel dan Miriam. Ibu dan anak ini membantu Kahlil dalam dinginnya salju dan merawatnya hingga ia sembuh. Selama tinggal di rumah mereka, Kahlil dan Miriam saling jatuh cinta.
Dengan cinta kasih yang ada di dalam dirinya untuk memberontak segala kejahatan yang dilindungi kekuasaan di Lebanon, Kahlil pun mulai memberontak. Saat pemuka lingkungan itu tahu bahwa ada orang yang terusir dari rumah suci karena tabiat buruknya, mereka langsung menangkap Kahlil. Penangkapan dan penyiksaan itupun disaksikan oleh seluruh masyarakat.