Ocha mencoba mendekat dan melewati garis  kuning bertuliskan Police Line. Sosok itu termenung; seperti ada sesuatu yang dipikirkannya. Ia menyapanya, pria itu bergeming. Pria itu terus memandangi cahaya lilin yang dipasang para pengendara motor ataupun pejalan kaki yang sesekali lewat. Beberapa lilin menyala, sementara yang lainnya telah mati dipeluk angin. Lilin-lilin itu tepat di atas bahu trotoar; di samping sebuah gambar yang menyerupai sesosok manusia dengan posisi tak wajar. Ia ingat gambar itu sering ia lihat di film-film action.
"Hmm,,pasti ia sama anehnya dengan mereka-mereka yang kutemui di hari ini", gumannya dalam hati.
Beberapa saat berselang, pria itu memalingkan wajahnya ke arah Ocha.
Temaram cahaya lilin yang rapuh cukup membantu Ocha tuk menemukan seuntai senyum di balik garis wajahnya yang sayu. Mereka tahu, keduanya telah saling menemukan orang yang dapat diajak bicara dan berbagi peluh.
"Di sini dingin kae. Kita maen-maen ke saya punya rumah e; di gang sebelah. Kita minum kopi dengan tamu-tamu di rumah".
. . .
Ocha mempersilahkanku masuk dan langsung menyuguhkan segelas kopi pahit sesuai permintaanku. Orang-orang seisi ruang tak memperhatikan keberadaan kami. Mereka masih duduk dengan wajah murung yang sama. Beberapa yang lain masih khusyuk melantunkan doa-doa, yang lain hanya duduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun satu dengan yang lain.
"Itu siapa?" tanyaku setelah beberapa saat memperhatikan seorang pria di sebelah kanan pembaringan raganya.
Ia menghampiri pria itu dan mengelus-elus rambutnya yang terurai. "Ini Sandi. Saya punya suami. Dia guru honor di SMPN 9 Langke Rembong. Kami menikah beberapa bulan lalu", terangnya.
Pria itu diam dan bergeming. Ia hanya sibuk dengan telepon genggamnya yang sesekali bergetar. Â Ia tentu tak menyadari kehadiran sosok yang menyentuh rambut ikalnya.
Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala; tak tahu harus berkata apa.