Mohon tunggu...
Ichan Lagur
Ichan Lagur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Asli

#YNWA. Felixianus Usdialan Lagur. Black Boy; suka kopi dan gitar. Cp: Lagurirsan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pengantin Muda yang Bergentayangan

8 Februari 2018   10:33 Diperbarui: 8 Februari 2018   11:19 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kuputuskan tuk kembali ke kotak persegi bertuliskan Police Line itu; tempat di mana pertama kali kami bertemu. Lilin-lilinnya masih menyala, meski beberapa di antaranya telah habis termakan cahaya. Di bawah rintik hujan dan cahayanya yang sayu; pelan-pelan kutulis kembali potongan-potongan kata yang masih tersimpan di kepala kecilku.

. . .  

Tiba-tiba Ocha terbangun dari tidur panjangnya. Sontak ia merasa aneh pada orang-orang seisi ruang tamu berukuran 3 x 4 m itu. Beberapa orang tertunduk lesu; beberapa di antaranya berteriak dan mengutuki waktu. Kata mereka waktu tak adil dan segalanya berlalu terlalu cepat. Seakan mereka benar-benar tahu, apa arti keadilan itu sendiri. Sementara di sudut ruang, tepat sebelah kanan tempat tidur Ocha; seorang pria muda tertunduk lesu. Sudah dua hari ia di situ; menemani tidur pulas sang gadis bersama senyum manja yang kini menjadi kaku. Ia seperti belum sepenuhnya percaya dengan apa yang terjadi.

Ocha beranjak dari tempat tidurnya. Sejuta tanya masih memenuhi kepala kecilnya. Dalam kebingungan yang belum sepenuhnya usai, ia mencoba menenangkan pria muda itu, tapi ia terus bergeming. Kebingungannya kian bertambah. Ia bertanya pada setiap mereka yang ada dalam ruang pengap itu; tapi tak seorang pun dapat diajak bicara. Setiap mereka hanya tertunduk lesu, yang lainnya khusyuk melantunkan doa-doa.

Ocha berjalan di antara himpitan orang-orang tersebut menuju ruang tengah dan dapur. Setiap mereka menampilkan raut wajah yang sama. Mereka semua sama; dan tak seorang pun dapat diajak bicara. Ia kemudian memutuskan untuk meninggalkan rumah bersama wajah-wajah murung mereka. Ia lupa ada bagian raganya yang lain yang masih terbaring kaku; raga yang mereka tangisi.

. . .

Mentari bergerak perlahan menuju peraduannya. Cahayanya menerobos di antara sela-sela awan; seperti berusaha menemani rintik hujan yang membasahi Ruteng kecil. Orang Manggarai percaya, usang mela adalah cara alam menyambut setiap jiwa yang menyatu dalam keabadian. Di bawah rinai hujan, Ocha melempar senyum pada setiap mereka yang ia temui. Sayangnya, tak seorangpun yang mau menyahut senyumannya. Apakah orang-orang di kota ini sudah lupa caranya tersenyum?

Ia terus melangkah sambil sesekali bertanya pada mereka-mereka yang ia jumpai. Tapi tak seorang pun dapat di ajak bicara. Ia melewati setiap ruas jalan kota Ruteng yang kian kelam karena kabut dan kehilangan cahaya. Adzan dari masjid yang terletak di tengah-tengah kota Ruteng bergema; memecah kesunyian Ruteng kecil yang kaku. Alunan nadanya yang syahdu mengiringi langkah Ocha yang mulai lelah.

Hujan kian deras. Ia menepi di depan salah satu tokoh bahan bangunan yang telah tua. Matahari telah benar-benar hilang; hari pun berganti menjadi petang. Beberapa kendaraan masih lewat; namun makin lama makin sepi.  Ruteng memang kota mati. "Ada apa dengan orang-orang yang kutemui?", pikirnya dalam hati.

Di tengah kebisuan itu; ia memandangi gedung MCC Ruteng tempat mereka melangsungkan pesta pernikahan. Waktu berlari mundur dalam rentangan yang tak sampai tiga ratus enam puluh lima hari; membawanya kembali pada potret-potret pesta yang mewah nan megah. Ia tersipu malu membayangkan masa-masa itu. Ia terlalu polos sampai-sampai ia tak tahu satu hal; latar orang tuanya yang mentereng seperti mengharuskan pernikahan berlangsung dengan luar biasa. Apakah kebahagiaan diukur melalui kemewahan? Ia tidak begitu yakin.

Dengungan Hartop tua mengembalikan lamunan Ocha yang panjang. Ia tersadar. Matanya mengikuti tiap inci pergerakan mobil tua yang lamban itu. Cahaya lampu yang suram karena akinya yang lemah cukup tuk membantu Ocha menangkap sesosok bayangan di persimpangan jalan. Di tengah kegelapan, Ocha mencoba memfokuskan pandangannya pada bayangan itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun