Sudah lama aku menahan diri untuk tidak lagi jatuh cinta. Jika pun terjadi, hubunganku tidak akan remeh-temeh persis hubungan orang-orang pada umumnya. Aku tidak ingin terjebak dalam situasi hubungan yang menawarkan iming-iming receh. Aku pun tak ingin rutinitasku terganggu hanya karena ketelodoranku nanti dalam hubungan.
Tapi sialnya, saat ini, aku kecolongan. Aku telah jatuh cinta.... Dan aku pura-pura menikmatinya.
***
Bukankah banyak hal dari jatuh cinta selalu dimulai dari pertemuan? Aku berani menyimpulkan hal ini sebab banyak orang bilang begitu. Tapi aku yakin, tidak semua orang seketika jatuh cinta pada pertemuan awal.
Jika tidak ingin menyebut bajingan, kan bodoh sekali, jika ada orang di dunia ini yang langsung merobohkan segala prinsipnya demi seseorang yang baru dikenalnya atas nama cinta. Namun entahlah, mungkin cinta hadir di pertemuan-pertemuan selanjutnya. Dari sanalah ikatan terjalin, batin saling merangkul, cinta lalu tumbuh.
Aku pun merasakan itu. Pertemuanku bersama Lembo bukanlah semata-mata disengaja. Aku telah kenal dia sebelumnya. Aku tahu sepak terjangnya di kampus dan di berbagai organisasi.
Kadangkala aku dan Lembo bertemu hanya di acara-acara organisasi, atau di kegiatan kampus. Percakapan kami terbatas. Ketika bertemu, selayaknya mahasiswa yang aktif di organisasi, kami bercakap hanya sebatas progres ke depan organisasi, atau situasi terkini organisasi, dan juga sering terjadi saling lempar pujian di antara kami, meskipun di waktu-waktu tertentu, aku cukup gerah dengan pujian tersebut
Untuk jatuh cinta, aku tidak sama sekali memperkirakan itu sebelumnya, apalagi kepada Lembo. Keseharianku, jatuh cinta hampir tidak mempunyai tempat di dalam hidupku.
Pernah jatuh cinta, sih. Tapi tidak sebegitu niatnya untuk segera membuka pintu kepada orang lain. Ada banyak alasan kenapa aku dengan ketat menjaga agar tidak membangun hubungan. Pertama: aku tidak ingin pekerjaan dan kegiatan organisasiku terganggu hanya karena ketersinggungan waktu dan rasa cemburu yang meletup-letup.
Kedua: aku tidak ingin hubungan pertemananku renggang. Kadang atas nama "cinta", kita akan semakin berjarak dengan orang lain. Ketiga: persis dengan mimpiku semasi SMA sampai dengan sekarang , aku ingin menyelami Indonesia. Aku ingin menjejaki tanah Nusantara. Di sinilah pondasi kenapa hubungan mesra bukan prioritasku, apalagi menikah.
Dan Lowanga. Lambat laun keinginanku tak tertahankan. Aroma bunga-bunga cinta menusuk tajam ke nasal, lalu menuju dan menetap ke hati bersamaan dengan tumpukan duri.
Sebagai perempuan, upaya pertahananku goyah. Dalam waktu sekejab aku telah kehilangan pendirian, kekuatan, dan juga sebagian mimpiku. Orang itu bernama Lembo. Ia cekatan mencegat serta mengusik hari-hariku.
Mark Twain benar, "jangan kau bangunkan perempuan yang sedang dilanda cinta. Biarkan dia larut dalam mimpi manis, agar tak menangis saat menghadapi fakta yang ternyata pahit." .... Aku merasakan kepahitan fakta itu saat ini. Bahkan untuk beranjak pergi, aku tak tahu melalui pintu sebelah mana. Pahit. Lara. Dilematis
Lagi. Seperti biasanya, jatuh cinta selalu melalui pertemuan. Aku tak begitu ingat kapan dan di mana aku bertemu Lembo pertama kali, dan pertemuan yang ke berapa aku terjebak jatuh cinta.
Yang aku rekam, aku terjerat cinta kepada Lembo semenjak aku memutuskan untuk aktif di organisasi yang juga ditempati Lembo. Hampir semua organisasi memang kerap menguji pertahanan diri baik laki-laki dan perempuan. Jika tidak kuat, kau akan dipasung dalam iming-iming belajar, ilmu, dan sikap egaliter, yang ujung-ujungnya --- kebanyakan --- adalah perekatan asmara.
Setelah pertemuan di dalam organisasi yang berimplikasi jatuh cinta, dengan alasan klise, aku takjub dengan kecerdasan Lembo. Ia tampak karismatik di organisasi ini. Aku pun bingung, kadang untuk menjadi berwibawa punya tempat khusus. Tidak sembarang tempat. Dan Lembo terbilang berwibawa di organisasi ini --- entahlah di tempat lain seperti apa.
Yang jelas, setelah melalui hari-hari penuh kajian-kajian serta kegiatan di organisasi ini, lamat-lamat, kecintaanku kepada Lembo menebal. Tetapi, aku belum sadar, lebih tepatnya lupa, bahwa cinta yang aku rasakan saat itu adalah bom waktu. Di sana, aku terjebak euforia organisasi dan cinta.
Pada akhirnya, aku takluk di tangan Lembo. Dan dengan waktu yang cepat juga, luluh lantak cinta menyerbak aku dan Lembo. Tidak heran, di setiap ada kesempatan, aku kerap merapal doa-doa terbaiku agar aku dan Lembo akan tetap baik-baik saja. Paling penting, aku benci sakit hati. Aku telah berani meringankan kaki dalam hubungan, dan aku tidak ingin ada jalan yang retak sediki pun.
Sebenarnya aku percaya dengan asumsi kebayakan orang yang beranggapan bahwa melihat tingkat bahagia pada suatu hubungan itu ialah ketika dua orang pasangan berada dalam masa pendekatan diri. Aku tahu soal itu.
Aku dan Lembo memulai hubungan dengan sangat baik dan bahagia. Serasa dunia milik berdua. Aku dan Lembo mengisi hari tanpa cacat sedikut pun. Berbagi cerita, berbagi rasa, saling memuji, saling memadukan, sering menyemangati, mendukung, bertukar gagasan, dan bahkan kami pernah menyusun siasat jangkah panjang, seolah-olah dengan waktu dekat, kami akan segera membangun rumah tangga, dan ia berjanji akan menjadi bapak yang baik.
Alih-alih memimpikan masa depan bersama yang cerah; yang terjadi justru omong kosong belaka.
Dalam hubungan itu, aku dan Lembo membuat semacam Standar Operasional Prosedur (SOP) khusus untuk hubungan kami.
Meskipun pada dasarnya aku tak tertarik dengan hal-hal formal semacam itu, karena berpotensi membangun sekat antara aku dan orang lain, tetapi dengan rasa yang dibius ramuan cinta, aku sontak menyetujui apa pun itu asal hubungan aku dan Lembo akan tetap tumbuh mekar. Pada SOP tersebut, aku merasa tak ada yang terkesan mengekang kebebasanku.
Tak ada narasi menyakitkan, tak ada upaya penyekapan. Justru aku lebih percaya diri dengan hadirnya SOP itu. Aku yakin, bahwa bersama Lembo aku akan lebih leluasa menimba ilmu, lebih bebas bergaul untuk memungut pengetahuan, lebih dekat untuk berdiskusi, serta lebih berani berterus terang soal kehidupanku sebenarnya.
Hari berganti hari, kebahagiaan masih awet bersama kami. Minggu berganti minggu, bahagia masih betah dengan kami. Meskipun ada sedikit cekcok, namun itu adalah bagian dari pemakluman terhadap hubungan.
Bulan berganti bulan, kondisi hubungan kami sudah tidak kondusif. Apa yang menjadi kekhawatiranku dahulu, sedikit demi sedikit telah tampak jelas, bahwa hubungan asmara adalah momok sekaligus utopia belaka. Hubungan asmara semacam virus mematikan yang membunuh manusia baik dengan durasi lama atau cepat. Pun cinta adalah keabsurdan mematikan.
sampai pada satu waktu, yang kurasakan, Lembo seketika menjadi ganas. Lembo mengurungku dalam ruang yang begitu pengap karena tata aturan hubungan. SOP yang sempat kami sepakti dahulu semakin bertambah keterangannya.
Hal yang menurutku tidak masuk akal pun tercatat rapih di personal note-ku, malah semakin bertambah, semakin keras temboknya, dan semakin menekap mimpiku. Aku telah merasakan kepahitan jatuh cinta.
Lembo kerap mencemburui banyak hal. Aku pikir, dengan Lembo aku akan banyak menceritakan hal-hal sederhana atau berbagi cerita perihal kehidupanku. Nihil. Lembo bukan pendengar yang baik. Di situasi di mana aku ingin banyak bercerita, baik itu masalah pribadi, keluarga, kerja, atau organisasi, aku merasa tidak punya siapa-siapa.
Lalu jika semua beban aku akhiri dengan menangis, orang-orang terdekat justru menilai menangis adalah hal yang paling lemah. Bukankah menangis adalah perbuatan menyegarkan mental? Lembo sosok yang aku harap hadir dalam kondisi itu, ia justru jauh dariku.
Aku merasa terkekang. Semenjak bersama Lembo, langkah kakiku telah mempunyai batas. Hubungan pertemananku mulai samar. Dan aku tidak tahu bagaimana cara melepaskan. Aku sadar, aku sering memanjakan ego, tetapi aku terlanjur masuk dalam hubungan ini.
Bahwa hal paling tersulit adalah "keluar" ketimbang "masuk". Aku butuh keluar. Aku butuh orang yang ingin mendengar keluh kesahku. aku butuh teman bercerita. aku butuh sosok yang bisa menguatkanku.
Untuk membanyangkan pernikahan yang sempat aku dengar dari mulut Lembo, rasanya kematian sangat dekat denganku. Aku mulai berhitung, sampai kapan peristiwa jatuh cinta ini akan selesai.
Selain aku merindukan kehidupanku yang cukup luwes sebelum bersama Lembo, aku ingin impianku bukan hanya sekedar angan-angan. Sangat tidak masuk akal jika semua mimpiku mati dibunuh asmara.
'Aku terperangkap dalam cerita roman yang aku bentuk sendiri.
*disclaimer, cerpen ini telah terlebih dahulu dimuat di laman medium penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H