Dalam hubungan itu, aku dan Lembo membuat semacam Standar Operasional Prosedur (SOP) khusus untuk hubungan kami.
Meskipun pada dasarnya aku tak tertarik dengan hal-hal formal semacam itu, karena berpotensi membangun sekat antara aku dan orang lain, tetapi dengan rasa yang dibius ramuan cinta, aku sontak menyetujui apa pun itu asal hubungan aku dan Lembo akan tetap tumbuh mekar. Pada SOP tersebut, aku merasa tak ada yang terkesan mengekang kebebasanku.
Tak ada narasi menyakitkan, tak ada upaya penyekapan. Justru aku lebih percaya diri dengan hadirnya SOP itu. Aku yakin, bahwa bersama Lembo aku akan lebih leluasa menimba ilmu, lebih bebas bergaul untuk memungut pengetahuan, lebih dekat untuk berdiskusi, serta lebih berani berterus terang soal kehidupanku sebenarnya.
Hari berganti hari, kebahagiaan masih awet bersama kami. Minggu berganti minggu, bahagia masih betah dengan kami. Meskipun ada sedikit cekcok, namun itu adalah bagian dari pemakluman terhadap hubungan.
Bulan berganti bulan, kondisi hubungan kami sudah tidak kondusif. Apa yang menjadi kekhawatiranku dahulu, sedikit demi sedikit telah tampak jelas, bahwa hubungan asmara adalah momok sekaligus utopia belaka. Hubungan asmara semacam virus mematikan yang membunuh manusia baik dengan durasi lama atau cepat. Pun cinta adalah keabsurdan mematikan.
sampai pada satu waktu, yang kurasakan, Lembo seketika menjadi ganas. Lembo mengurungku dalam ruang yang begitu pengap karena tata aturan hubungan. SOP yang sempat kami sepakti dahulu semakin bertambah keterangannya.
Hal yang menurutku tidak masuk akal pun tercatat rapih di personal note-ku, malah semakin bertambah, semakin keras temboknya, dan semakin menekap mimpiku. Aku telah merasakan kepahitan jatuh cinta.
Lembo kerap mencemburui banyak hal. Aku pikir, dengan Lembo aku akan banyak menceritakan hal-hal sederhana atau berbagi cerita perihal kehidupanku. Nihil. Lembo bukan pendengar yang baik. Di situasi di mana aku ingin banyak bercerita, baik itu masalah pribadi, keluarga, kerja, atau organisasi, aku merasa tidak punya siapa-siapa.
Lalu jika semua beban aku akhiri dengan menangis, orang-orang terdekat justru menilai menangis adalah hal yang paling lemah. Bukankah menangis adalah perbuatan menyegarkan mental? Lembo sosok yang aku harap hadir dalam kondisi itu, ia justru jauh dariku.
Aku merasa terkekang. Semenjak bersama Lembo, langkah kakiku telah mempunyai batas. Hubungan pertemananku mulai samar. Dan aku tidak tahu bagaimana cara melepaskan. Aku sadar, aku sering memanjakan ego, tetapi aku terlanjur masuk dalam hubungan ini.
Bahwa hal paling tersulit adalah "keluar" ketimbang "masuk". Aku butuh keluar. Aku butuh orang yang ingin mendengar keluh kesahku. aku butuh teman bercerita. aku butuh sosok yang bisa menguatkanku.