Dan Lowanga. Lambat laun keinginanku tak tertahankan. Aroma bunga-bunga cinta menusuk tajam ke nasal, lalu menuju dan menetap ke hati bersamaan dengan tumpukan duri.
Sebagai perempuan, upaya pertahananku goyah. Dalam waktu sekejab aku telah kehilangan pendirian, kekuatan, dan juga sebagian mimpiku. Orang itu bernama Lembo. Ia cekatan mencegat serta mengusik hari-hariku.
Mark Twain benar, "jangan kau bangunkan perempuan yang sedang dilanda cinta. Biarkan dia larut dalam mimpi manis, agar tak menangis saat menghadapi fakta yang ternyata pahit." .... Aku merasakan kepahitan fakta itu saat ini. Bahkan untuk beranjak pergi, aku tak tahu melalui pintu sebelah mana. Pahit. Lara. Dilematis
Lagi. Seperti biasanya, jatuh cinta selalu melalui pertemuan. Aku tak begitu ingat kapan dan di mana aku bertemu Lembo pertama kali, dan pertemuan yang ke berapa aku terjebak jatuh cinta.
Yang aku rekam, aku terjerat cinta kepada Lembo semenjak aku memutuskan untuk aktif di organisasi yang juga ditempati Lembo. Hampir semua organisasi memang kerap menguji pertahanan diri baik laki-laki dan perempuan. Jika tidak kuat, kau akan dipasung dalam iming-iming belajar, ilmu, dan sikap egaliter, yang ujung-ujungnya --- kebanyakan --- adalah perekatan asmara.
Setelah pertemuan di dalam organisasi yang berimplikasi jatuh cinta, dengan alasan klise, aku takjub dengan kecerdasan Lembo. Ia tampak karismatik di organisasi ini. Aku pun bingung, kadang untuk menjadi berwibawa punya tempat khusus. Tidak sembarang tempat. Dan Lembo terbilang berwibawa di organisasi ini --- entahlah di tempat lain seperti apa.
Yang jelas, setelah melalui hari-hari penuh kajian-kajian serta kegiatan di organisasi ini, lamat-lamat, kecintaanku kepada Lembo menebal. Tetapi, aku belum sadar, lebih tepatnya lupa, bahwa cinta yang aku rasakan saat itu adalah bom waktu. Di sana, aku terjebak euforia organisasi dan cinta.
Pada akhirnya, aku takluk di tangan Lembo. Dan dengan waktu yang cepat juga, luluh lantak cinta menyerbak aku dan Lembo. Tidak heran, di setiap ada kesempatan, aku kerap merapal doa-doa terbaiku agar aku dan Lembo akan tetap baik-baik saja. Paling penting, aku benci sakit hati. Aku telah berani meringankan kaki dalam hubungan, dan aku tidak ingin ada jalan yang retak sediki pun.
Sebenarnya aku percaya dengan asumsi kebayakan orang yang beranggapan bahwa melihat tingkat bahagia pada suatu hubungan itu ialah ketika dua orang pasangan berada dalam masa pendekatan diri. Aku tahu soal itu.
Aku dan Lembo memulai hubungan dengan sangat baik dan bahagia. Serasa dunia milik berdua. Aku dan Lembo mengisi hari tanpa cacat sedikut pun. Berbagi cerita, berbagi rasa, saling memuji, saling memadukan, sering menyemangati, mendukung, bertukar gagasan, dan bahkan kami pernah menyusun siasat jangkah panjang, seolah-olah dengan waktu dekat, kami akan segera membangun rumah tangga, dan ia berjanji akan menjadi bapak yang baik.
Alih-alih memimpikan masa depan bersama yang cerah; yang terjadi justru omong kosong belaka.