Membahas tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di era dimana kemerdekaan sudah
dikumandangkan sejak 17 Agustus 1945 khususnya di Negara kita, maka seharusnya disaat itu juga setiap manusia
punya hak yang sama perihal merasakan kemerdekaan atas dirinya, tanpa ada yang dikurangi atau
bahkan dihilangkan atas apa yang menjadi hak pada setiap diri seseorang. Jika dilihat dari
kenyataan di lapang sungguh sangat disayangkan jika masih banyak sekali pelanggaran HAM
(Hak Asasi Manusia) yang masih berkeliaran sehingga berdampak menjadikan kesenjangan atas
bagian-bagian dari ketidak adilan.
Beberapa bulan yang lalu, tepatnya pada tanggal 9 - 16 September telah digelar ajang
kejuaraan Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Jatim VII 2023 yang dilaksanakan dalam 4 (empat)
daerah, diantaranya (Sidoarjo, Kota Mojokerto, Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Jombang).
Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Jawa Timur, Adhy Karyono menegaskan bahwasannya
“Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Jawa Timur sudah membahas terkait Porprov
dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Dinas Pemuda dan Olahraga
(Dispora),” ujarnya didampingi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Jatim Mohammad Yasin usai rapat koordinasi dengan KONI Jatim dan Dispora Jatim, Jumat
(14/7/2023).
Adhy mengatakan dalam rakor tersebut dibahas terkait anggaran, mulai dari anggaran
eksisting (Rp55 miliar) maupun yang untuk kebutuhan Porprov. Terkait kebutuhan pembiayaan
Porprov, lanjut Adhy, yakni menggunakan rancangan anggaran yang sebelumnya tidak ada
menjadi direvisi. “Jadi ada adendum Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) menjadi ada
Porprov dan diberikan anggaran tambahan,” jelasnya pada majalah berita (Jatim Newsroom.)
Sebelumnya tidak ada permasalah terkait pelaksanaan yang diselenggarakan oleh jajaran
pengurus Komite Olahraga Nasional (KONI). Namun dalam penerapan pada masing-masing
daerah Kabupaten yang masih sering amburadul dalam artian tidak menerapkan secara
benar atau betul. Salah satu contoh dari cara kinerja Kabupaten Banyuwangi yang
memperlakukan atlet-atletnya yang dirasa jauh dari kata pantas. Bisa dilihat dari berita yang ada
pada (Radar Banyuwangi) menyatakan pelayanan terhadap atlet Banyuwangi pada
pelaksanaan multievent Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Jawa Timur kembali menjadi sorotan
(17/10/2023).
“Tim sepak bola putra Banyuwangi dikabarkan harus menginap di rumah kontrakan dengan
fasilitas yang sangat memprihatinkan. Tidurnya di lantai hanya beralaskan tikar, tanpa bantal dan
kasur. Kondisi ini ikut mempengaruhi kesiapan atlet dalam bertanding.” jelasnya pada majalah
berita (Radar Banyuwangi) 17/10/2023.
Bukan hanya pada cabor sepak bola, pada cabor yang lainnya juga merasakan kejadian
yang sama seperti yang dialami oleh cabor pencak silat, dimana tempat tidur juga sama hanya
sekedar menggunakan alas tikar, tanpa bantal serta kasur. Belum lagi di saat pelaksanaan
pemusatan latihan atau biasa disebut training center (TC) yang diadakan pada Kabupaten
Banyuwangi, tepatnya di kawasan Masjid Muhammad Cheng Ho Banyuwangi. Dimana para
atlet yang mengikuti pemusatan latihan (TC) disuruh membayar atau harus mengeluarkan biaya
sebesar empat ratus lima puluh ribu rupiah (450k) per-orang. Apakah pantas bagi seorang atlet
yang berjuang mewakili atas nama sebuah Kabupaten namun mendapatkan perlakuan demikian?
Bisa dikatakan itu sungguh sangat memperhatikan. Dimana seorang atlet yang seharusnya
mendapatkan uang saku atau uang pembinaan seperti yang dilakukan oleh beberapa Kabupaten
lainnya seperti Kabupaten Kediri yang memberikan uang saku sebesar lima ratus ribu rupiah
(500k) per-bulan di saat menjelang persiapan kejuaran, begitu juga dari Kabupaten lainnya seperti Surabaya, Jember, Sidoarjo dan beberapa diantaranya yang masih mendapatkan uang pembinaan,
bukan malah disuruh membayar untuk sekedar bisa mengikuti sebuah pemusatan latihan.
Masih banyak kejanggalan yang kerap terjadi mulai dari segi konsumsi, sampai fasilitas
yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya sudah menjadi hak bagi seorang atlet yang
mewakili sebuah Kabupaten. Beberapa kabupaten sudah menjalankan tugasnya dengan
memberikan fasilitas yang semestinya untuk atlet-atletnya yang rela berjuang mengharumkan
nama Kabupaten dalam sebuah ajang kejuaraan, namun di sisi lain tak sedikit Kabupaten yang
masih kerap acuh terhadap masalah ini, sehingga berdampak bagi seorang atlet yang secara
langsung merasakan bagaimana rasanya kepedihan dari sebuah kesenjangan. Masalah ini hampir
tidak menemukan sebuah solusi manakala setiap diadakannya sebuah ajang kejuaraan pasti
terulang kembali, pada kejadian yang seakan tidak kunjung menemui titik terang seakan
kesalahan yang terus dilestarikan.
Jika membicarakan HAM, bukankah kejadian ini masuk ke ranah dari pelanggaran HAM?
dimana hak asasi manusia yang seharusnya di dapatkan secara setara, dimana hak yang seharusnya
merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia yang bersifat
universal dan
oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi,
atau dirampas oleh siapapun. Seharusnya masalah semacam ini juga harus ditangani secara serius
karena jika dibiarkan saja maka pasti akan berdampak di masa yang akan datang, bisa saja bibit-bibit unggul yang berpotensi bisa mengharumkan nama Negara akan layu sebelum Ia berhasil
tumbuh dan berkembang, sehingga bisa menjadikan kelangkaan orang-orang yang khususnya
memiliki potensi untuk mengharumkan nama Negara dalam rangka kejuaraan di kancah dunia.
“Menjadi seorang Atlet adalah hal yang susah, dimana butuh konsistensi akan latihan yang
dilakukan berulangkali. Semua orang mungkin bisa untuk memulai keinginan untuk menjadi
seorang atlet, namun hanya segelintir orang yang bisa bertahan akan konsistensi dari kejenuhan
yang datang.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H